Bullying Beri Berdampak Dari Korban Jadi Pelaku

Bullying Beri Berdampak Dari Korban Jadi Pelaku
oto ilustrasi diperagakan Milka Melvariza dan Virgianty Kusumah – Foto: Dite Surendra/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Kata bullying tidak pernah dapat dipisahkan dari pergaulan saat ini. Mulai anak-anak sampai dewasa. Baik menjadi korban maupun pelaku bullying. Jika kita tidak dapat mengatasinya, kelak bullying dapat memengaruhi pola asuh terhadap anak.

Bullying adalah perilaku agresif dan negatif. Perilaku tersebut dilakukan seorang atau sekelompok orang berulang-ulang. Tujuannya, menyakiti korban secara fisik maupun psikis.

Menurut dr Erikavitri Yulianti SpKJ, perilaku bullying dapat muncul sejak remaja. Terutama remaja yang bermasalah perilaku kronis, masalah emosional, dan perkembangan. Kelompok itu rentan menjadi pelaku maupun korban bullying. ’’Satu karakteristik kunci pelaku bullying adalah miskinnya empati,’’ kata psikiater yang berpraktik di National Hospital Surabaya tersebut.

Mereka merasa senang melihat penderitaan orang lain.Tentu korban sangat dirugikan. Terlebih, bullying adalah peristiwa yang traumatis. Karena itu, bullying berpeluang besar meninggalkan pengaruh kepada diri seseorang. Dampak itu dapat berlangsung sementara maupun berkelanjutan sampai menjadi orang tua.

Menurut dokter 38 tahun tersebut, hal itu bergantung pada beberapa faktor. Di antaranya, terapi yang diterima korban, kepribadian, dukungan lingkungan, serta tingkat keparahan bullying.

Dokter alumnus FK Unair Surabaya tersebut menegaskan, memori mengenai hal traumatis itu akan dibawa sampai dewasa dan diinternalisasi dalam diri seseorang. Korban bullying bakal tumbuh ’’mirip’’ dengan pelaku bullying yang mem-bully dirinya. Sadar atau tidak, orang tersebut akan bersifat otoriter.

Dra Mierrina MSi menyebutkan, ada tiga jenis perilaku orang tua yang menjadi korban traumatis. Pertama, orang tua sadar bahwa dirinya adalah korban bullying lantas mudah mengatasi permasalahan pribadi atau malah susah mengatasi problemnya. Jenis kedua, orang tua yang sadar bahwa dirinya menjadi korban bullying namun tidak mau berubah. Jenis ketiga, orang tua yang tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban bullying tetapi mudah mengembangkan diri.

Trauma bullying harus segera ditangani. Kalau tidak, hal tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap anak. ’’Bullying psikis biasanya lebih membekas ketimbang bullying fisik. Misalnya, punya pengalaman dikunci di kamar mandi. Akan timbul trauma sehingga dilakukan kepada anaknya kelak,’’ terang psikolog yang berpraktik di Siloam Hospitals Surabaya tersebut.

Kata bullying tidak pernah dapat dipisahkan dari pergaulan saat ini. Mulai anak-anak sampai dewasa. Baik menjadi korban maupun pelaku bullying. Jika

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News