Jepang Bimbang Tanggapi Tebusan ISIS

Jepang Bimbang Tanggapi Tebusan ISIS
Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe. FOTO: ist

jpnn.com - TOKYO – Batas waktu yang diberikan militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) kepada Jepang semakin dekat. Dalam ancamannya pada Selasa (20/1), kelompok radikal itu memberikan waktu 72 jam kepada Jepang untuk menyerahkan uang tebusan USD 200 juta (sekitar Rp 2,49 triliun). Tetapi, Jepang belum memberikan keputusan apa pun hingga Kamis (22/1).

Yoshihide Suga, jubir pemerintah, menyatakan bahwa Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe belum mengambil sikap. Kabarnya, pemerintah masih mengkaji beberapa kemungkinan untuk bisa menyelamatkan dua sandera tersebut. Tetapi, Tokyo tidak akan mengabulkan permintaan militan terkait dengan uang tebusan. Saat ini pemerintahan Abe masih berusaha melakukan negosiasi. ’’Sampai saat ini (kemarin), kami masih belum menerima kabar apa pun dari mereka (ISIS, Red),’’ paparnya.

Padahal, sesuai ultimatum militan sempalan Al Qaeda itu, batas waktu akan berakhir hari ini (23/1). Bagi Jepang, melacak keberadaan dua warganya yang menjadi sandera ISIS bukanlah perkara mudah. Sebab, hubungan diplomatik Jepang dengan negara-negara di Timur Tengah sangat terbatas. ’’Kami masih berusaha mengontak kelompok yang menyandera Kenji Goto dan Haruna Yukawa,’’ ungkapnya.

Dia berharap, pemerintah bisa segera menghubungi kelompok militan tersebut dan melakukan negosiasi. Goto yang berprofesi sebagai jurnalis lepas dan Yukawa yang bergerak di bidang jasa keamanan raib di Syria menjelang akhir tahun lalu. Yakni, pada Agustus dan Oktober.

Sejauh ini, Jepang mengandalkan Ko Nakata dalam urusan sandera itu. Pakar hukum Islam dan mantan dosen Doshisha University di Kota Kyoto tersebut menjadi penghubung antara pemerintah dan militan. Dari markas Foreign Correspondents Club of Japan, dia membacakan pesan dari pemerintah untuk para penculik Goto dan Yukawa. ’’Waktu 72 jam terlalu singkat. Tolong tunggu sedikit lebih lama lagi dan kami mohon jangan mengambil tindakan gegabah,’’ kata Nakata.

Sebagai mantan bagian dari tim ahli tentang Islam pada Kedutaan Besar Jepang di Arab Saudi, dia fasih berbahasa Arab. Maka, dalam pernyataannya di hadapan media kemarin, Nakata menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Jepang. ’’Jika ada celah untuk (saling) berbicara, saya siap berangkat (ke Syria) dan berunding,’’ lanjutnya. Dalam pernyataan tersebut, dia juga meminta militan mengungkapkan rencana mereka selanjutnya terhadap para sandera. Sebagai alternatif uang tebusan yang mereka minta, Nakata menawarkan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi dan warga sipil di sekitar sarang ISIS.

’’Bulan Sabit Merah beroperasi di bawah kendali negara Islam. Jadi, bagaimana jika kita minta bantuan Turki dan menyalurkan uang yang mereka minta itu kepada warga sipil yang harus menanggung dampak pertempuran di Iraq dan Syria. Saya rasa, ini solusi yang rasional dan sangat bisa diterima,’’ jelasnya. Selain memublikasikan pernyataan itu ke media, dia mengontak Umar Grabar yang diklaim sebagai jubir ISIS.

Selain Nakata, ada Kosuke Tsuneoka yang menawarkan bantuannya untuk berkomunikasi dengan militan. Jurnalis yang pernah menjadi sandera militan Afghanistan pada 2010 tersebut mengaku siap mengontak ISIS dan berunding dengan mereka. Sayangnya, pemerintah Jepang tidak mengizinkan warganya berkomunikasi dengan militan atau kelompok teror.

TOKYO – Batas waktu yang diberikan militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) kepada Jepang semakin dekat. Dalam ancamannya pada Selasa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News