Pemilihan Sekjen PBB Akan Mendobrak Tradisi

Pemilihan Sekjen PBB Akan Mendobrak Tradisi
Ilustrasi. Foto: AFP

jpnn.com - NEW YORK - Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) akan menggelar pemilihan Sekretaris Jenderal secara terbuka.

Ya, sejak badan pengganti Liga Bangsa-Bangsa itu berdiri 70 tahun lalu, proses seleksi kandidat Sekjen selalu tertutup, namun kini berakhir.

Para calon harus melakukan kampanye dan memaparkan visi misi selama sekitar dua jam. Mereka juga harus menjawab pertanyaan dari perwakilan negara-negara anggota dan masyarakat sipil. Ada 8 kandidat Sekjen yang terdiri atas 4 laki-laki dan 4 perempuan.

Tradis selama ini, pemilihan Sekjen PBB sangat tertutup. Setiap kali ada lowongan, mereka yang tertarik bakal melobi lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Yaitu Inggris, Prancis, Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). Tentu saja, lobi itu dilakukan secara tertutup.

Setelah ada kesepakatan, DK PBB memilih nama finalis yang lantas dikirimkan ke majelis umum. Sekjen baru PBB lantas diumumkan. Proses itu berlangsung selama puluhan tahun tanpa perubahan. Namun, tidak demikian halnya dengan pengganti Ban Ki-moon nanti. Sebab, PBB didesak lebih transparan dalam menentukan Sekjen. Karena itulah, perubahan pemilihan akhirnya dilakukan. Masa jabatan Ban Ki-moon akan berakhir pada 1 Januari 2017.

’’Kami telah memutuskan melakukannya secara terbuka,’’ ujar Duta Besar Prancis Francois Delattre. ’’Proses hearing ini baru dan penting. Saya berencana menghadiri dan mendengarkan masing-masing kandidat,’’ tambahnya. Sebelum proses hearing, masing-masing kandidat harus mengirimkan pengajuan secara resmi sebagai calon Sekjen. Mereka juga harus memaparkan tentang latar belakang masing-masing.

Delapan kandidat yang maju, antara lain, Kepala UNESCO Irina Bokova dari Bulgaria, mantan Perdana Menteri Selandia Baru sekaligus Kepala Program Pembangunan PBB Helen Clark, mantan pimpinan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Antonio Guterres dari Portugal, serta mantan Menlu Moldova Natalia Gherman.

Sejauh ini, Guterres paling diunggulkan. Sebab, dia digadang-gadang bisa menyelesaikan krisis pengungsi yang kini melanda Eropa. Namun, banyak pula yang menginginkan pemimpin perempuan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News