Makna Kepergian Gus Dur

Makna Kepergian Gus Dur
Makna Kepergian Gus Dur
"DI pintumu aku mengetuk, aku tak bisa lagi berpaling". Sebait sajak Chairil Anwar ini selalu kita ingat ketika seorang sahabat, atau tokoh, berpulang  ke Rahmatullah, seperti halnya tatkala Gus Dur pergi 30 Desember senja lalu. Jasad guru bangsa, mantan Presiden RI keempat, pejuang demokrasi, budayawan dan kolumnis itu, telah meninggalkan kita. Tapi amal ibadah dan jejak karyanya masih bertapak hingga sekarang, dan niscaya harus berkesinambungan. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.

Nama Gus Dur tak bisa dilepas dari demokrasi yang diperjuangkannya di era Orde Baru, walaupun terbentur tembok besar rezim yang berkuasa. Sesungguhnya Gus Dur tak sendiri. Masih ada Arief Budiman si pendiri Golongan Putih. Termasuk Majalah Tempo yang kritis melihat pemerintahan Soeharto, serta Kelompok Petisi 50 yang dipimpin oleh Ali Sadikin. Serta sejumlah nama dan entitas yang terlalu panjang untuk dijejerkan, kendatipun jumlahnya tetap minoritas.

Selebihnya, agaknya adalah mayoritas yang bisu. Menolak dalam hati, tapi tak berani terang-terangan. Atau yang dengan sadar bersama Orde Baru memasung demokrasi.

Kebenaran dan demokrasi selalu dibentuk oleh kekuatan politik di setiap zaman. Tak heran jika ikutnya ABRI di gelanggang politik pun dianggap sebagai bagian dari demokrasi. Ironisnya, malah tanpa dipilih. Partai hanya boleh tiga, PPP, Golkar dan PDI, juga diformat zaman Orde Baru. Bahkan kedua hal yang bertentangan dengan demokrasi itu justru dirumuskan melalui UU yang disahkan oleh Ketetapan MPR RI.

"DI pintumu aku mengetuk, aku tak bisa lagi berpaling". Sebait sajak Chairil Anwar ini selalu kita ingat ketika seorang sahabat, atau tokoh,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News