Polemik Jawa Satu Abad

Polemik Jawa Satu Abad
Polemik Jawa Satu Abad
SYAHDAN, sembilan puluh dua tahun kemudian, hari-hari ini, perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang “nasionalis” dan Soetatmo Soerjokoesoemo yang membela kepriyayian pada saat persidangan Volksraad (DPR di zaman kolonial) pada 1918 silam, bagai berlari ke abad ini. Setidaknya, ketika salah satu keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni soal pemilihan Gubernur DIY, dibangkitkan kembali justru oleh Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono, yang merebak menjadi polemik hangat di media massa.

Adalah Takashi Sirashi dengan bagus melukiskan perdebatan itu dalam bukunya “Satria versus Pandita”: Sebuah Debat dalam Mencari Identitas, dalam Akira Nagazumi (ed), Indonesia dalam Kaitan Sarjana Jepang, Perubahan Sosial Ekonomi abad 19 & 20 dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia (Yayasan Obor Indonesia, 1986).

Tjipto alergi melihat hak-hak istimewa kaum priyayi yang dipayungi pemerintah kolonial Belanda, meski maksudnya untuk perpanjangan tangan sang penjajah. Tak pelak, Tjipto dikucilkan oleh kalangan intelektual Jawa maupun priyayi Jawa. Namun berbeda dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam menghadapi wacana SBY itu banyak dibela oleh para pakar, pengamat dan masyarakat, setidaknya yang mengemuka di media massa.

Tetapi semarjinal apapun pemikiran Tjipto, 92 tahun lampau dalam memandang kelemahan “Jawanisasi”, sesungguhnya tidak sedikit intelektual dan budayawan Jawa yang memilih nasionalisme ke- Hindia-Belandaan yang belakangan bernama Indonesia ketimbang nasionalisme Kejawaan. Tjipto menghendaki “keindonesiaan”, tetapi Soetatmo cenderung mempertahankan “kejawaan.”

SYAHDAN, sembilan puluh dua tahun kemudian, hari-hari ini, perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang “nasionalis” dan Soetatmo Soerjokoesoemo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News