Bachtiar Aly: Muskil Sekali Mengubah Dasar Negara

Bachtiar Aly: Muskil Sekali Mengubah Dasar Negara
Pimpinan Badan Sosialisasi MPR sekaligus Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR, Prof. Dr. Bachtiar Aly di depan 100 peserta Sosialisasi Empat Pilar dengan metode Outbound di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (16/9). Foto: Humas MPR

jpnn.com, PALEMBANG - Pimpinan Badan Sosialisasi MPR Prof. Dr. Bachtiar Aly menegaskan jangan bermimpi untuk mengubah dasar Negara. Karena, komitmen kebangsaan kita sudah selesai, dan sudah diatur sedemikian rupa bahwa kita bersikukuh dengan Pancasila sebagai dasar negara.

“Jadi, untuk mengubah kita punya dasar negara sudah sangat tidak mungkin. Muskil sekali,” kata pria asal Aceh yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR RI ini di depan 100 peserta Sosialisasi Empat Pilar dengan metode Outbound di Hotel Grand Zuri, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (16/9).

Masih, kata Bachtiar Aly, kita juga tidak mengatakan bahwa Pancasila hanya sekadar sebagai alat pemersatu. “Kalau kita pakai Pancasila hanya sebagai alat pemersatu maka akan terjebak seperti keinginan DN. Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Aidit mengatakan, kalau kita sudah bersatu, kenapa pula kita pakai Pancasila,” cerita Bachtiar Aly ketika menyampaikan materi tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Dalam kesempatan itu, Bachtiar Aly terlebih dulu menguraikan bagaimana para pendiri bangsa menyiapkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan bersatu.

“Jadi, kita punya visi, kita punya prinsip. Karena itu Anda boleh berbangga bahwa negara ini bukan negara asal-asalan,” ungkap Bachtiar Aly.

Bayangkan, kata Bachtiar, mana ada negara di dunia ini, sebelum eksis sebagai negara, pemuda-pemudi sudah bermimpi untuk memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Itu terjadi pada 1928. Singkat cerita, dalam Kongres Sumpah Pemuda pada 1928, dengan peserta dari kalangan terbatas, para pemuda-pemudi kita berdiskusi, bukan dalam bahasa Indonesia melainkan bahasa Belanda. Karena memang mereka adalah mahasiswa Kedokteran Stovia, sekolah paling elite pada masa itu.

“Mereka ini bermimpi suatu waktu negeri ini merdeka maka kita akan mempunyai bahasa satu,” kata Bachtiar Aly. Apa yang terjadi? Bahasa Indonesia itu bukan diambil dari bahasa mayoritas masyarakat Jawa, tapi yang dipilih bahasa Melayu.

Menurutnya, Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan orang Jawa, dengan jiwa besar mengatakan: “Bahasa Melayu memang bahasa yang dikenal, bahasa perdagangan, bahasa pergaulan, jadi kita kukuhkan menjadi bahasa persatuan,” katanya.

Pimpinan Badan Sosialisasi MPR Prof. Dr. Bachtiar Aly menegaskan jangan bermimpi untuk mengubah dasar Negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News