Data Kementan Selaras dengan BPS

Data Kementan Selaras dengan BPS
Gedung Kementerian Pertanian. Foto IST

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Pertanian memastikan data pangan menggunakan angka yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yang menjadi acuan semua instansi.

Sesuai kebijakan Pemerintah tentang 'satu data dan satu peta', maka satu data pangan bersumber dan dikoordinasikan oleh BPS, sedangkan untuk satu peta dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

BPS telah bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan instansi terkait dalam mengembangkan metode pendataan pangan dengan Kerangka Sampling Area (KSA) untuk meningkatkan kualitas data pangan.

"Hingga saat ini, satu-satunya lembaga statistik resmi yang memiliki otoritas dan kompeten adalah BPS. Jadi bila ada pihak lain yang merasa memiliki data-data pangan maupun metodologi silakan dikomunikasikan dengan BPS, ujar Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan Suwandi.

Suwandi menjelaskan, metode pendataam pangan yang akan digunakan sedang dibangun dan nantinya tidak hanya berdasarkan pengamatan luas panen disertai menghitung jumlah benih, pupuk, atau asupan pengairan oleh petugas lapangan dinas pertanian daerah, sedangkan data produktivitas dengan survei ubinan.

Untuk keperluan kebijakan intern dan memandu operasional di lapangan, sejak dua tahun lalu Kementan telah bekerjasama dengan LAPAN mengembangkan teknologi satelit sebagai alat bantu memantau luas dan sebaran pertanaman padi se-Indonesia.

Data tabular dan spasial standing-crop dipantau dengan citra satelit-8 LAPAN resolusi 1 pixel setara 900 m2 dan resolusi temporal 16 hari sekali. Data diolah komputerisasi sehingga minimalisir personal eror dan disajikan secara transparan bisa diakses di http://sig.pertanian.go.id.

Sebelumnya, beberapa pihak mempertanyakan data produksi padi yang dinilai terlampau tinggi, seperti pada 2016 surplus mencapai 11,4 juta ton sehingga kemudian dipertanyakan di mana stok beras yang surplus tersebut.

Namun, jika memahami data dan sebaran yang ada, hal ini membantu mengkonfirmasi. Misalnya untuk produksi beras 2016, menurut BPS 79,14 juta ton dan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada 2014 sebesar 70,85 juta ton ada kenaikan sebesar 11,7 persen.

Bila dipertanyakan lebih jauh di mana posisi beras yang lebih ini, jawabnya sebarannya ada di lima titik yaitu rumah tangga, penggilingan padi kecil, pedagang, gudang bulog, dan horeka. Pada September 2015, stok beras menjadi 8,12 juta ton dengan sebaran 51,8 persen di rumah tangga, 12,21 persen pedagang, 21,01 persen Bulog, 8,88 persen penggilingan dan 6,1 persen di Horeka.
Demikian juga bisa dikonfirmasi dengan analisis kondisi pasokan dan stock beras di pasar induk, pergerakan harga di produsen dan konsumen, tidak ada impor beras medium maupun parameter lainnya.

Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia 2017 berjumlah 262 juta jiwa, maka rata-rata konsumsi perkapita/pertahun sebesar 114,6 kg/kapita/tahun. Ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi beras tinggi seiring jumlah penduduk.

Keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan produktivitas beras juga tercermin dari bantuan beras ke negara Srilangka dan Rohingya, sebagian ada ekspor.

Hal tersebut mengindikasikan adanya kelebihan stok beras. Ketersediaan beras dalam negeri tercukupi karena tidak ada impor beras dua tahun terakhir ini.

Suwandi menambahkan, dalam perdagangan global, ekspor impor beras khusus merupakan hal yang wajar karena impor beras khusus tersebut tidak diproduksi petani.

"Sebaliknya kami pun juga ekspor beras organik, beras merah, beras hitam dan lainnya ke negara lain. Beras khusus ini tidak mengganggu kedaulatan pangan, karena porsinya kecil sekali,” jelas Suwandi.

Sejak 2016 hingga sekarang, Indonesia tidak impor beras umum/medium.

Data pangan bersumber dan dikoordinasikan oleh BPS, sedangkan untuk satu peta dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News