Dulu, Gurunya Bung Karno Juga Menyoal Harga Garam

Dulu, Gurunya Bung Karno Juga Menyoal Harga Garam
Petani garam di Madura pada zaman Hindia Belanda. Foto: Dok. Tropenmuseum.

Melalui Direktur Zoutregie atau Jawatan Garam, pemerintah menghembuskan isu ke akar rumput bahwa Haji Syadzili hanya mewakili suara pemilik tambak garam, bukan petani dan pekerja.

Menepis isu itu, SI membeberkan bukti buruknya kondisi kerja dan upah di pabrik garam milik pemerintah.  

Oetoesan Hindia, koran terbitan Sarekat Islam edisi 28 September 1918 menurunkan berita sebagai berikut...

Di pabrik garam, “kondisi kerja begitu jelek sehingga anak-anak perempuan di bawah umur harus bekerja pada giliran malam dan harus menginap di barak-barak pabrik, tidur di lantai berdempet-dempet seperti ikan sardin.”

Polemik garam pun menjadi isu utama. Bahkan, sampai  menjadi agenda pokok di sidang Volksraad (kini semacam DPR).

Abdul Muis, wakil SI di Volksraad cukup vokal. Dewan lantas merekomendasikan harga 15 gulden, dari tuntutan 25 gulden.

Kendati tidak berkabul penuh, mempertimbangkan perjuangan maksimal jalur konstitusional para pimpinan SI di pusat, “pemimpin-pemimpin SI di Madura secara implisit mendukung rekomendasi tersebut,” tulis Kuntowijoyo.

Rekomendasi Volksraad memang sudah dikantong. Namun, praktek di lapangan masih seperti sebelumnya. Tak ada perubahan.

ASINNYA harga garam sedang jadi buah bibir. Ini bukan perkara baru. Pada zaman kolonial, polemik garam pernah juga jadi isu utama. Tjokroaminoto,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News