Kedatuan, Bukan Kerajaan Sriwijaya! (1)

Kedatuan, Bukan Kerajaan Sriwijaya! (1)
Sampul buku SRI BUDDHA--Bukan Sriwijaya. Foto: Dok JPNN.com.

jpnn.com - PERSIS satu abad lampau. Teori bahwa ada kerajaan bernama Sriwijaya lahir dari nalar rahim George Coedes, seorang ilmuwan Prancis. Setelah mempelajarinya baik-baik, ternyata teori itu, maaf, keliru. Sriwijaya bukanlah kerajaan. Dan alur ceritanya tak seperti yang dihidupkan para sarjana di kampus-kampus.
 
Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network
 
Sejak 1999, saya mulai belajar sejarah Indonesia. Dari mana asal kata Indonesia dan sejarah kemerdekaannya. Saya lantas tertarik pada sejarah Sriwijaya, yang katanya kerajaan maritim nan amat berpengaruh pada awal masehi.
 
Boleh jadi ketertarikan itu lantaran saya lahir di Pulau Sumatera, tanah yang kabarnya menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.
 
Nyaris semua buku yang mengaji Sriwijaya terbaca. Tak puas, saya lantas mendatangi dan membaca ulang prasasti-prasasti dan batu bersurat terkait kejayaan Sriwijaya. 
 
Berita Arab dan berita China yang dipakai para peneliti untuk menyelami alkisah Sriwijaya juga saya pelajari lagi.
 
Hasilnya, saya yang berbangga hati dan menggandrungi sejarah Kerajaan Sriwijaya malah mendapati hal lain. Sriwijaya ternyata bukan kerajaan.
 
Pantas saja ia tak pernah punya kepastian. Ada versi yang meyakini pusat Sriwijaya di Palembang. Ada yang bilang di Jambi. Bahkan di Semenanjung Malaysia. Dan lain sebagainya.
 
Temuan ini mulanya tak saya percayai begitu saja. Sehingga, berbekal honor dari mengampuh rubrik Historiana di JPNN.com, dan limpahan rejeki dari kehendak semesta, angin membawa saya kelana. Menapaki jejak-jejak masa lalu.
 
Ternyata, penelusuran itu justru memperkuat. Bahwa Kerajaan Sriwijaya tak pernah ada.  
 
Pada 2018, saya merampungkan buku berjudul SRI BUDDHA--Bukan Sriwijaya.
 
Sebagai balas budi kepada JPNN, maka sebelum buku itu terbit, senarai kisah dari masa lampau itu dimuat terlebih dahulu di media ini. Selamat mengikuti serialnya. Terima kasih. 

*** 

ALANGKAH bersemangatnya para penemu teori Kerajaan Sriwijaya.
 
Mereka menafsir kata “sribuza”, “sriboga”, “cha-li-fo-cha”,“shih-li-fo-shih”, “san fo tsi” yang tersua dalam berita Arab dan berita Cina pada awal masehi menjadi “sriwijaya”.
 
Karena terlampau bersemangat,  kata “zabag” pun secara serampangan mereka belokkan  jadi “sriwijaya”.
 
Ketimbang “sriwijaya”, bila dibunyikan, bukankah “san fo tsi” dalam berita Cina itu terdengar “sang bhodi”? dan “shih-li-fo-shih” lebih cocok—berdasarkan dialek dan aksara Cina--lebih kena dibaca “sri bhodi”?
 
Bagaimana dengan “cha-li-fo-cha”? Sama dengan “sribuza” dan “sriboga” dalam berita Arab, sungguh--ini tak mungkin keliru--lebih tepat dibaca SRI BUDDHA.
 
Sadarah…
 
Kami haturkan sirih sekapur. Lengkap sarato pinang. Dengan menautkan sembah jari nan sepuluh, ampun beribu ampun. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta...perkenankan kami buka cerita.
 
Saudara…
 
Demi ilmu pengetahuan, maaf beribu maaf. Sriwijaya bukan nama kerajaan. Bukan pula nama seorang raja.
 
Kata Sriwijaya memang muncul dalam sejumlah prasasti atau batu bersurat.  Dan, seluruhnya diiringi kata kedatuan dan datuk.
 
Ya, Sriwijaya memang kedatuan; kedaton! Semacam civitas akademika. Tempat memutus kaji. Lebih kurang menyerupai perguruan tinggi, meski tidak persis. Sriwijaya kampus Swarnadwipa. Tempat mengampuh ilmu pengetahuan.
 
Karena keilmuwannya, “alumni” kedaton disebut dato; datu; datuk; datuak. Orang-orang yang ber-alam luas, berpadang lebar.
 
Para Datuk adalah orang-orang yang dimajukan selangkah, ditinggikan seranting. Umpama pohon besar, akarnya tempat bersila. Batangnya tempat bersandar. Daunnya yang rimbun tempat berteduh. Buahnya untuk dipetik. Pergi tempat mengadu, pulang tempat berberita.
 
Para Datuk dididik adil memutus perkara. Tidak serampangan. Tahu mana ranting yang akan melanting, tunggul yang akan menyandung. Jiwa dan pikirannya tenang, sehingga tidak menghardik menghantam tanah.
 
Di gelanggang kehidupan, alumni-alumni Kedaton atau Kedatuan Sriwijaya, kusut menyelesaikan, keruh memperjernih. Kehadirannya membawa manfaat.
 
Dato atau Datu atau Datuak, bahasa sanskerta. Artinya orang yang mulia. Da sama dengan ra, artinya yang mulia. To dan juga tu artinya orang. Datu, sama dengan ratu. Kedaton atau kedatuan sama dengan keraton atau keratuan. 
 
Begitulah saudara...
 
Hari ini tumbuh dari masa lalu. Kabar dari masa lalu yang kita ketengahkan ini, semangatnya jauh dari merasa bahwa peradaban kita-lah yang paling tua. Apalagi menganggap paling hebat. Bukan! Bukan itu.
 
Karena kita tahu dunia ini milik bersama, maka kita tidak sedang menggadang-gadang neo-primordialisme. Tidak pula membangun sentimen rasisme.
 
Kita hanya bercerita apa adanya. Tak penting menganggap cerita kita inilah yang paling benar.  Cerita ini cuma seganggam daun kebenaran, di antara rimbunnya dedauan di hutan.
 
Di mana lokasi Kedaton Sriwijaya?
 
Hingga hari ini...belantara rimba, ladang duku di antara reruntuhan batu bata dari masa lampau di kawasan yang kini dikenal sebagai Candi Muara Jambi, masih disebut Kedaton oleh masyarakat setempat.
 
Candi Kedaton! Inilah pusat Kedatuan Sriwijaya, gelanggang ilmu pengetahuan Wangsa Sailendra, yang pada masanya mempengaruhi dua pertiga dunia.
 
Cerdik pandai dari Kedaton Sriwijaya sangat berpengaruh. Mereka menyebarkan ajaran. Mendirikan kedaton dan keraton, kerajaan dan nagari-nagari.
 
Kapan Kedaton Sriwijaya didirikan?
 
Tabujua lalu tabulintang patah, kisahnya setua waktu!
 
Sepanjang yang berhasil dijangkau, menaut-bentangkan warih nan bajawek, pusako dari niniak turun ka mamak, mamak turun ka kamanakan, lebih kurang inilah kabar dari kelampauan…--bersambung (wow/jpnn)


Maaf, Sriwijaya bukanlah kerajaan. Dan alur ceritanya tak seperti yang dihidupkan para sarjana di kampus-kampus.


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News