Krisis Garam Karena Ulah Kompeni

Krisis Garam Karena Ulah Kompeni
Dua orang perempuan melakukan pengepakan garam pada zaman kolonial. Foto: Dok. Tropenmuseum.

“Peraturan itu kemudian dibatalkan pada tahun 1654, karena kualitas garam yang dipasok pada masa itu menurun,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya.

Krisis Garam

Akibat ulah Kompeni ini, kapal-kapal pembawa bergantang-gantang garam di pelabuhan utara Jawa Timur, tak lagi melepas sauh.

Muatan kapal kosong. Garam tak lagi bisa dipasok menuju Sumatera dan Maluku. Ekspor garam Jawa merosot. Pembuatan garam lesu. Harga pun meninggi.

“Mahalnya harga garam di Jawa sebagai akibat dari pelaksanaan monopoli pemerintah,” tulis Sutejo Kuwat Widodo dalam Dinamika Kebijakan Terhadap Nelayan--Tinjauan Historis pada Nelayan Pantai Utara Jawa 1900-2000.

“Pembeli lantas membayar seharga 150.000 perak untuk 800 gantang garam (1 gantang sekira 3,1 kg), lalu menjual kembali di Banten seharga 1.000 tiap 3 gantang,” tulis Pieter Willemsz dalam Atchins Dachregister Gehouden bij de Oppercoopman 1642, dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680.

Kemudian hari, peraturan semakin diperketat. VOC melarang para penggarap membuka tambak garam baru tanpa izin.

Monopoli garam VOC tak cuma menghasilkan beragam peraturan, tapi “juga melahirkan kelas sosial baru, yaitu pachter,” tulis Yety Rochwulaningsih dalam Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang, Jawa Tengah, termuat dalam Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, Vol.20, No. 3, tahun 2007.

JAWA pernah menjadi pengekspor garam terbesar se-Nusantara. Monopoli pemerintah kolonial terhadap produksi dan distribusi garam, mengubah peran Jawa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News