Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat

Meiliana Divonis 18 Bulan, Hendardi: Bentuk Peradilan Sesat
Ketua Setara Institute, Hendardi. FOTO: Dok. JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan vonis satu tahun enam bulan atau 18 bulan penjara kepada Ibu Meiliana karena berpendapat tentang volume suara azan, merupakan bentuk peradilan sesat yang digelar di Pengadilan Negeri Medan. Menurutnya, pengadilan memaksakan diri memutus perkara yang tidak bisa dikualifikasi sebagai peristiwa hukum. Pengadilan bukan bekerja di atas mandat menegakkan keadilan sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945, tetapi bekerja di bawah tekanan massa.

“Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan,” kata Hendardi dalam siaran persnya, Kamis (23/8). 

Hendardi menilai proses hukum atas Meiliana merupakan akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sekaligus menggambarkan lemahnya institusi peradilan atas tekanan massa kelompok intoleran. Kinerja ini pula menggambarkan bahwa intoleransi, cara pikir dan cara kerja diskriminatif melekat dalam institusi-institusi peradilan di Indonesia.

“Intoleransi bukan hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi juga merasuk ke banyak kepala aparat penegak hukum dan para penyelenggara negara,” ujarnya. 

Lebih lanjut, dia mengatakan perkembangbiakan intoleransi di Tanah Air terjadi sejak 2004 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin dan membiarkan aspirasi intoleransi itu hingga 10 tahun masa kepemimpinannya berakhir. Sementara, selama hampir 4 tahun masa kerja pemerintahan Joko Widodo juga nyaris tidak mengambil tindakan nyata mengatasi intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.

“Alih-alih mengambil tindakan nyata menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, Jokowi sebatas membubarkan organisasi semacam Hizbut Tahrir Indonesia, lebih karena alasan keberadaannya yang mengancam secara politik, tetapi tidak genuine untuk membela kebebasan beragama/berkeyakinan,” kata Hendardi. 

Dalam pengamatan SETARA Institute, menurut Hendardi, sedari hulu, proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trail. Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya.

Pegiat Hak Asasi Manusia ini mengatakan pasca-perusakan Vihara dan Klenteng oleh kerumunan massa (mob), dengan desakan ormas dan kelompok-kelompok intoleran, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana melakukan penistaan agama. Serupa dengan pola kasus Ahok dan sebagian besar kasus penodaan agama, kombinasi tekanan massa, kelompok intoleran, dan fatwa MUI menjadi determinan bagi penetapannya sebagai tersangka oleh kepolisian, dan kemudian ditahan sejak Mei 2018.

Menurut Hendardi, vonis 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara kepada Ibu Meiliana karena berpendapat tentang volume suara azan, merupakan bentuk peradilan sesat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News