Menghentikan Ekses Pilkada Langsung

Menghentikan Ekses Pilkada Langsung
Bambang Soesatyo. Foto: DPR

jpnn.com - Oleh Bambang Soesatyo

Ketua DPR RI Fraksi Partai Golkar/
Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI 2017-2022

Pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) secara langsung sebenarnya sudah ideal karena dia menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat. Namun Sayang, kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya belum dilengkapi pola atau mekanisme penyaringan yang ideal. Akibatnya, Pilkada di banyak daerah gagal menghadirkan sosok pemimpin yang punya kompetensi, kredibilitas dan berintegritas. Bahkan praktik money politic atau politik transaksional makin masif dan gesekan antarkelompok, keluarga ataupun individu diakar rumput semakin mengkhawatirkan.

Negara, tentu saja, tidak boleh tinggal diam. Apalagi, belum ada yang tahu kapan ekses Pilkada langsung seperti yang dirasakan sekarang ini bisa dihentikan. Sementara pada saat bersamaan sudah bermunculan aspirasi agar dilakukan koreksi terhadap mekanisme Pilkada. Aspirasi ini dimunculkan karena rakyat di banyak daerah merasakan bahwa Pilkada langsung nyaris tidak memberi nilai tambah bagi kesejahteraan mereka.

Alih-alih menyejahterakan, tampilnya kepala daerah baru yang membawa tim suksesnya masuk dalam manajemen pemerintah daerah (Pemda) justru sering menghadirkan masalah. Mulai dari masalah kompetensi hingga perilaku koruptif. Banyak kepala daerah tidak fokus membangun dan memenuhi kebutuhan daerahnya. Mereka lebih disibukan dengan ‘menggoreng’ semua mata atau pos anggaran dalam anggaran belanja pemerintah daerah (APBD). Warga di daerah hanya bisa bermimpi tentang akan tampilnya pemerintahan yang baik atau good governance.

Akibatnya, rakyat merasakan bahwa Pilkada langsung lebih sering menghadirkan ekses dibanding manfaat. Dan, untuk menunjuk fakta tentang ekses Pilkada langsung itu, tidak sulit-sulit amat. Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sudah 77 Kepala daerah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian, sepanjang periode 2004-2017, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersandung kasus hukum. Dari jumlah ini, sebanyak 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Ini fakta dari ekses Pilkada langsung itu. Eksesnya tak terbatas pada korupsi anggaran, tetapi juga terhadap manajemen Pemda secara keseluruhan akibat kepala daerah bersangkutan menyandang status tersangka dan menghuni ruang tahanan di KPK. Pelimpahan wewenang kepala daerah kepada wakilnya akan menghadirkan sejumlah konsekuensi yang tak mudah diadaptasi seluruh satuan kerja.

Rangkaian fakta ini rasanya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan faktor pendorong melakukan koreksi terhadap pola dan sistem Pilkada langsung. Potensi masalah dan ancamannya jangan disederhanakan. Pilkada langsung yang sejatinya demokratis itu bisa dipersepsikan buruk jika terus menerus hanya menghadirkan kepala daerah yang inkompeten, tidak kredibel dan tidak berintegritas. Jangan sampai masyarakat memersepsikan Pilkada langsung sebagai batu loncatan bagi para oknum kepala daerah untuk mengorupsi APBD.

Benih-benih persepsi negatif itu sudah mulai tumbuh di banyak kalangan. Bahkan sudah tumbuh keyakinan bahwa tidak ada demokrasi dalam praktik Pilkada langsung, karena proses menuju kemenangan lebih ditentukan oleh uang. Publik bahkan tahu bahwa untuk meraih kemenangan, para kontesntan Pilkada langsung dituntut menyediakan pundi-pundi yang jumlahnya tidak kecil. Sang pemenang akan mencari kompensasi atas pengeluaran atau belanja Pilkada itu dengan ‘menggoreng’ proyek-proyek dalam APBD. Mau tak mau, pemenang Pilkada langsung akan membuat formasi manajemen birokrasi Pemda yang cenderung korup. Artinya, publik pun sudah tahu betul tentang ekses Pilkada langsung itu.

Ekses Pilkada langsung saat ini tak hanya dicerminkan oleh jumlah kepala daerah yang jadi tahanan KPK tapi bisa juga dilihat pada kegagalan sejumlah DOB.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News