Netanyahu Takut-takuti Parlemen Israel dengan Intifadah

Netanyahu Takut-takuti Parlemen Israel dengan Intifadah
PM Israel Benjamin Netanyahu dan istrinya, Sara. Foto: AP

jpnn.com, TEL AVIV - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terus mencari cara agar pemerintahannya bertahan. Koalisinya tetap utuh. Sebab, dia tidak mendukung usul percepatan pemilihan umum (pemilu) yang justru berpotensi membawa Israel ke masa lalu yang kelam.

Netanyahu bersikukuh mempertahankan jadwal pemilu pada November 2019. "Kita ingat apa yang menyusul kejatuhan pemerintahan sayap kanan pada 1992 dan 1999," ungkap Netanyahu seperti dikutip Times of Israel, Minggu (18/11). Yang dia maksud adalah dua peristiwa politik yang konon memicu lahirnya intifadah di perbatasan Israel-Palestina.

Pada 1992 PM Yitzhak Shamir dilengserkan partainya sendiri. Seusai pemilu ulang, kursi kepala pemerintahan jatuh ke tangan tokoh sayap kiri, Yitzhak Rabin. Di eranya, Rabin menandatangani Perjanjian Oslo yang menjadi awal serangan bom bunuh diri Palestina.

Selanjutnya, pada 1999 Netanyahu terdepak dari kursi ketua Knesset (parlemen Israel). Partai Buruh yang menjadi pilar sayap kiri lantas menguasai pemerintahan.

Peristiwa itu kemudian melahirkan intifadah kedua. Dua intifadah yang muncul saat Israel jatuh ke tangan penguasa sayap kiri itulah yang berusaha dicegah Netanyahu sekarang.

"Di saat keamanan sedang sensitif, pemilu adalah opsi terakhir yang dibutuhkan negara," tegas pemimpin 69 tahun tersebut.

Dia berharap strateginya soal intifadah itu bisa membuat para politikus Israel urung membubarkan parlemen. Terutama, Menteri Pendidikan Naftali Bennett dan Menteri Keuangan Moshe Kahlon.

Selain menjabat menteri, Bennett dan Kahlon juga memimpin partai politik dalam koalisi Netanyahu. Bennet mengetuai Partai Jewish Home. Kahlon merupakan pendiri Partai Kulanu.

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu terus mencari cara agar pemerintahannya bertahan

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News