Pengusaha Tuntut Larangan Premium SPBU Jalan Tol Dicabut

Pengusaha Tuntut Larangan Premium SPBU Jalan Tol Dicabut
Pengusaha Tuntut Larangan Premium SPBU Jalan Tol Dicabut

JAKARTA - Kebijakan larangan penjualan BBM bersubsidi jenis premium di SPBU jalan tol dinilai merugikan pengusaha. Hal tersebut menjadi dasar Asosiasi Pengusaha Tempat Istirahat Pelayanan Jalan Tol Indonesia (APTIPINDO) melayangkan pengaduan kebijakan tersebut kepada Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU). Mereka mengklaim kebijakan tersebut tak mencapai tujuannya dan sangat diskriminatif.
    
Kepala Bidang Organisasi APTIPINDO Biswanto mengatakan, pihaknya melakukan pengaduan tersebut untuk mencabut peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terkait pengendalian BBM bersubsidi di beberapa sektor.

Peraturan yang diedarkan melalui surat nomor 937/07/KaBph/2014 tersebut melarang penjualan premium di SPBU jalan tol sebagai salah satu aturannya.
    
"Peraturan itu sangat dikriminatif. Karena yang dilarang hanya di tempat kami. Di sisi lain, tujuan utamanya kan untuk menghemat penggunaan kuota BBM bersubsidi di Indonesia yang dipangkas menjadi 46 juta kilo liter (kl). Itu sudah terbukti tidak efektif," ungkapnya usai bertemu dengan pihak KPPU di Jakarta kemarin (11/9).
    
Menurut pantauannya, efek dari kebijakan tersebut hanya bertahan dalam satu minggu saja. Dalam periode tersebut, memang konsumsi produk Pertamax per hari naik dua kali lipat. Namun, hal tersebut sebenarnya hanya lima persen dari konsumsi premium di SPBU-nya.

"Di tempat saya memang meningkat menjadi delapan ton per hari selama seminggu. Tapi setelah itu kembali lagi menjadi empat ton," ujar pria pemilik SPBU km 39 Jakarta Cikampek tersebut.
    
Di sisi lain, lanjut dia, hal tersebut memberikan kerugian kepada beberapa pihak. Misalnya, dari sisi konsumen. Konsumen yang tetap ingin mengonsumsi premium terpaksa keluar masuk tol untuk cari SPBU atau mengantri sebelum masuk tol. Dengan kata lain, kenyamanan pengendara dipastikan terganggu.
    
"Di sisi lain, investasi kami menjadi berantakan. Sebab, investasi kami sejak awal dirancang menjual premium. Ketika dicabut, investasi yang sudah kami lakukan tak bisa dihentikan. Mulai dari dispenser sampai bangunan," jelasnya.
    
Selain investasi, pihaknya mengaku pendapatan operasional pun terganggu. Dari penjualan BBM saja, pihaknya menaksir penurunan pendapatan hingga Rp 210 juta per hari. Hal itu dari asumsi bahwa setengah konsumsi BBM di SPBU jalan tol adalah premium. Jika ditambah dengan kehilangan pendapatan tenant, jumlah kerugian diperkirakan mencapai Rp 400 juta.
    
"Itu dilihat dari perkirakan semua 28 rest area yang ada. Contohnya, lokasi rest area milik saya. Mobil pribadi yang masuk per hari hanya mencapai 4 ribu kendaraan. Padahal, sebelum aturan itu jumlahnya mencapai 8 ribu kendaraan per hari. Padaha, konsumsi premium di SPBU saya sebenarnya tak mendominasi. Hanya 35 persen dari semua BBM. Bayangkan yang komposisi konsumsinya 85 persen premium," terangnya.
    
Dia berharap, peraturan segera dicabut. Pasalnya, hal tersebut juga menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang bekerja disana. Menurutnya, sudah ada beberapa SPBU yang terpaksa memecat karyawan karena tak kuat menahan beban operasional.
    
"Dalam bulan pertama saja tidak tahan rest area km 10 sudah dan km 45 sudah melakukan PHK. Rest areaKM 14 akhir bulan ini akan iktu melakukan. Saya sendiri masih bertahan. Jangan sampai ada PHK sampai pencabutan ini," ungkapnya.
    
Terkait tuntutan tersebut, Menteri ESDM Chairul Tanjung mengaku masih dalam tahap mengevaluasi kebijakan tersebut. Saat ini pihaknya sudah menugaskan BPH Migas dan Pertamina di bawah Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo untuk mencari solusi pengendalian yang cocok.

"Saya masih menunggu hasilnya. Ketika sudah ada hasilnya nanti saya yang akan putuskan," jelasnya. (bil)


JAKARTA - Kebijakan larangan penjualan BBM bersubsidi jenis premium di SPBU jalan tol dinilai merugikan pengusaha. Hal tersebut menjadi dasar Asosiasi


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News