Perang Diksi dan Kebisingan Tak Substantif

Perang Diksi dan Kebisingan Tak Substantif
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Oleh: Pangi Syarwi Chaniago

Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting

 

Narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang minim isi. Situasi ini mengganggu kualitas demokrasi substansial akibat degalan politik murahan yang jauh dari kualitas.

Perang saling sindir ini dilakukan dengan melontarkan diksi dan frasa seperti politik sontoloyo, politik kebohongan, politik gendoruwo, tampang Bayolali, budek/buta, tempe setipis ATM, impor ugal-ugalan dan lain-lain. Diksi dan frasa ini pada ujungnya mendapat hubungan aksi dan reaksi (kausalitas) yang justru membuat bising dan memekakkan di ruang opini publik.

Pertanyaan adalah apakah politik saling sindir ini sentimen-nya positif terhadap citra kandidat atau justru menggembosi elektabilitas capres itu sendiri, dengan arti kata justru akan menjadi senjata makan tuan.

Presiden Jokowi mestinya menjaga konsistensinya yang terkenal dengan politik santun, tenang, tidak nyinyir, tidak suka menyerang, tidak menyindir dan tidak menuding yang pada pemilu 2014 mengantarkannya memenangkan pemilu.

Namun pada hajatan pemilu kali ini, sepertinya Jokowi memainkan taktik formasi menyerang. Kita tidak melihat Jokowi seperti yang dulu, terjebak pada politik reaktif namun belum masuk ke hal-hal yang lebih substantif.

Sangat tidak elok membuat kebisingan dengan memainkan sentimen publik, sementara pada saat yang sama kebisingan tersebut tak berdampak apapun terhadap rakyat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News