Hikayat Achmad Sjaichu (5)

Politik Tak Lagi Menarik Minat

Politik Tak Lagi Menarik Minat
Achmad Sjaichu pidato di pesantren Al-Hamidiyah. Foto: Repro Wenri Wanhar/JPNN.com

Pada 1987, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali melatakkan batu pertama.

Lembaga pendidikan Islam yang diidam-idamkannya bersama istrinya itu, diberi Sjaichu nama Pondok Pesantren Al-Hamidiyah.

17 Juli 1988. Persis 29 tahun nan lampau, pesantren Al-Hamidiyah dibuka.

"Ternyata banyak remaja di sekitar Depok dan Jakarta yang datang mendaftar sebagai santri. Pada tahun kedua, sudah mulai ada santri yang datang dari daerah lain di luar Jakarta dan Depok," tulis buku Kembali ke Pesantren.

Cerita buku itu benar. Saya, datang dari Sumatera masuk Al-Hamidiyah pada 1992. Angkatan kelima. Para alumni angkatan ke-5 telah mendirikan LIMA. Singkatan dari Lingkar Ma'had Al-Hamidiyah.

Kawan sekamar dan sekelas, juga ada yang datang dari Kalimantan. Namanya, kalau tak salah ingat, Ufi Ahdi. Ada juga yang dari Bandung. Novi Hartawan, dipanggil Unying. Anaknya kocak.

Boleh jadi, orang tua mengirim kami jauh-jauh, bahkan menyeberang pulau untuk belajar ke pesantren itu karena nama besar pengasuhnya: K.H Achmad Sjaichu. Entah…

Sjaichu adalah Ketua Panitia Konferensi Islam Asia Afrika 1965. Dan lalu menjabat Sekjen Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA).

PERSIS 29 tahun lampau. 17 Juli 1988. Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dibuka. Pendirinya K.H Achmad Sjaichu. Orang penting di panggung sejarah Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News