Sekolah Lima Hari, MUI: Akan jadi Catatan Kelam bagi Pendidikan Islam

Sekolah Lima Hari, MUI: Akan jadi Catatan Kelam bagi Pendidikan Islam
Siswa SD di daerah pedalaman. Ilustrasi Foto: Jawa Pos Group/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rencana Mendikbud Muhadjir Effendy menerapkan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan menuai polemik.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, durasi belajar selama 8 jam per hari tersebut dikhawatirkan akan mengganggu pembelajaran di madrasah dan pesantren.

Wakil Ketua Umum MUI, Zainud Tauhid Saadi mengungkapkan bahwa praktik pendidikan keagamaan di madrasah (Madrasah Diniyah) sudah lama dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaannya pun secara sukarela dan dibiayai secara swadaya.

Pendidikan di madrasah lumrahnya setelah selesai jam pelajaran di sekolah umum baik SD, SMP maupun SMA. “Kalau jam pelajarannya sampai 8 jam, pendidikan madrasah akan gulung tikar,” katanya.

Padahal, lanjutnya, pendidikan di Madrasah Diniyah selama ini telah memberikan kontribusi yang tidak ternilai dalam penguatan nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter, dan penanaman akhlak bagi anak didiknya.

Selain itu, selama ini Madrasah Diniyah biasanya dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat. Tidak ada support tetap dari pemerintah. Para guru yang mengajar juga dibayar dengan nilai yang tidak seberapa.

“Para ustaz/ustazah yang mengabdi tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya, ini akan jadi catatan kelam bagi pendidikan Islam di negeri ini,” kata Zain.

Meskipun kebijakan sekolah lima hari tidak buruk, namun Zain meminta Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memikirkan kembali kesiapan sekolah-sekolah.

Rencana Mendikbud Muhadjir Effendy menerapkan kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan menuai polemik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News