Sepertinya Kubu Prabowo Demen Pakai Jurus Politics of Fear

Sepertinya Kubu Prabowo Demen Pakai Jurus Politics of Fear
Prabowo Subianto - Sandiaga S Uno. Ilustrasi: Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Afriadi Rosdi mengaku miris menyaksikan model kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sebab, terlalu banyak fitnah, kampanye hitam (black campaign) dan politisasi suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).

"Ajang kampanye yang seharusnya dipergunakan untuk mendidik dan mencerdaskan, malah dipergunakan untuk membodohi pemilih," ujar Afriadi kepada JPNN, Selasa (18/12).

Ketua Pusat Kajian Literasi Media itu menuturkan, pada masa kampanye Pilpres 2019 pemilih terkesan disuguhi hal-hal yang bersifat destruktif dan menganggu keharmonisan berbangsa. Sebagai contoh, muncul spanduk bertuliskan #JKWBersamaPKI di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.

"Ini  permainan politik populisme. Politikus populis memproduksi konten-konten kampanye mengikuti arus maunya masyarakat. Hampir tak ada tujuan mencerdaskan masyarakat dalam hal ini," ucapnya.

Afriadi mengaku menangkap kesan kubu Prabowo Subianto -Sandiaga Uno memilih jurus populisme itu dalam kampanye Pilpres 2019 ini. Menurutnya, fokus kampanye kubu pasangan calon presiden nomor urut 02 itu masih seputar isu-isu yang menjadi kegemaran dan tuntutan segmen pemilih yang mereka sasar seperti SARA dan ketidakpuasan publik di bidang ekonomi dengan menggunakan jurus politics of fear atau politik ketakutan.

Indikasinya adalah menggembar-gemborkan isu ekonomi makin sulit, hidup makin susah, perekonomian nasional dijajah asing dan aseng, hingga pribumi semakin terpinggirkan dari sumber-sumber penghidupan. "Dari catatan saya, hingga Desember ini ketakutan-ketakutan masyarakat berkaitan dengan aspek ekonomi diangkat secara intensif," ucapnya.

Di beberapa negara, kata Afriadi, penggunaan isu populisme kanan dengan bumbu politics of fear terbukti efektif. “Seperti terjadi di Amerika Serikat, Brasil dan Brexit. Tapi kisah gagalnya juga banyak, seperti terjadi di Perancis, Belanda dan Swedia," tuturnya.

Khusus untuk Indonesia, Afriadi mengaku masih meraba-raba apakah pola tersebut akan berhasil atau tidak. Pasalnya pola itu sukses saat Pilkada DKI meski gagal di Pilkada Jawa Barat.

Pengamat politik Afriadi Rosdi mengatakan, terlalu banyak fitnah, kampanye hitam (black campaign) dan politisasi SARA dalam Pilpres 2019.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News