Sulitnya (Punya) Anak Superpandai

Oleh Dahlan Iskan

Sulitnya (Punya) Anak Superpandai
Dahlan Iskan. Foto: dok.JPNN.com

Orang tuanya tentu gembira. Tapi sekaligus sedih. Marah. Sulit. Audrey tetap ingin masuk tentara. Jadi pejuang negara. Seperti pahlawan yang dikenalnya di foto-foto di dinding taman kanak-kanaknya.

Nasihat orang tuanya tidak pernah dia terima. Misalnya, nasihat untuk menyadari bahwa dirinya itu keluarga Tionghoa. Minoritas. Belum tentu bisa diterima baik oleh lingkungan yang luas. Kok mau masuk tentara. Jadi pejuang bangsa.

Sejak kecil Audrey terus dinasihati tentang sulitnya jadi minoritas. Tentang bahayanya menjadi golongan Tionghoa. Risiko bermata sipit. Berkulit kuning. Tentang risiko-risiko pergaulan. Kekerasan. Apalagi dia seorang wanita. Begitu protektif si ibu sampai-sampai saat ada tukang di rumahnya, Audrey tidak boleh keluar kamar.

Begitu ketatnya aturan yang harus dijalani seorang anak kecil bermata sipit membuat Audrey memberontak. Diam-diam. Dipendam. Dalam hati. Dia berusaha menghitamkan kulitnya. Tapi setiap becermin, dia mengakui matanya masih sipit. Dia bertekad tidak mau berbahasa Mandarin. Dia berhenti kursus Mandarin. Bahkan, dia bertekad tidak akan mau menikah dengan pemuda Tionghoa.

Dia tidak percaya soal perbedaan ras tidak bisa diatasi. Dia percaya pada Pancasila. Yang ajarannya mulia. Tidak membeda-bedakan warga negara. Dia tahu dalam kenyataan bahwa pembedaan itu ada. Justru itu harus diperjuangkan. Agar Pancasila bisa dilaksanakan.

Dia tidak mau kaya raya. Tidak mau jadi pengusaha. Dia juga masih melihat banyak golongan Tionghoa yang tidak melaksanakan Pancasila. Di tengah bangsa yang masih begini miskinnya.

Tapi, dia juga kecewa. Bahwa golongan Tionghoa masih diperlakukan tidak adil dan beradab. Oleh golongan lainnya. Dia kecewa dalam hal ini Pancasila baru di bibir saja.

Mengapa saat berumur empat tahun Audrey sudah mempertanyakan arti kehidupan dan ke mana perginya rasa bahagia?

Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News