Bedanya ’’Tidur’’ dan ’’Makan''

Bedanya ’’Tidur’’ dan ’’Makan''
Bedanya ’’Tidur’’ dan ’’Makan''
Malam itu, kami sedang asyik bersimulasi mempersiapkan ’’Pasrah’’ alias Pasar Murah yang diinisiasi Bank Mandiri-Jasa Raharja-Jamsostek bersama Indopos di GOR Ciracas, Jaktim. Tiba-tiba diskusi bergeser soal Meneg BUMN Dahlan Iskan yang malam itu juga menginap di Rusun Perumnas Pulau Gebang, Cakung, di wilayah Jaktim. Yang menjadi ’’tanda tanya besar’’, ngapain bersusah–payah tidur di rumah yang didesain dengan harga dan fasilitas ’’merakyat’’ itu? Ngapain?

jpnn.com - Poin pertanyaan itu mirip dengan beberapa kejadian sebelumnya. Seperti saat Dahlan bermalam di kampung terpencil, beralas tikar, berlantai tanah, berdinding gedhek (anyaman bambu, red) milik petani miskin Hadi Sumarto, 60, tahun di Desa Bulak Seworan, RT19/RW8, Desa Triharjo, Kecamatan Wates, Kulonprogo, DI Jogjakarta. Kata-kata yang membuat galau di kepala publik pun sama, ’’ngapain?’’

Di rumah buruh tani berukuran 7x10 meter itu, Dahlan sama sekali tidak merasa canggung, tidak ada kesan risih, dan tetap home. Dia juga lahap menyantap tempe benguk, ubi rebus, geblek –bahan makanan ringan dari sari pati ketela, red), dan wedang secang hangat berwarna merah bening, yang di Jakarta dikenal dengan sebutan bir pletok itu. Lagi-lagi, ’’ngapain’’ menghabiskan waktu dengan cara itu?

Sama dengan kekagetan publik di medio Maret 2012 lalu, ketika Dahlan Iskan tidur berkasur tikar pandan, di samping tumpukan gabah di rumah petani kecil di Dusun Karangrejo, Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Sragen, Jawa Tengah. ’’Ngapain’’ aja? Apa nggak takut sedang demam tomcat? Predator wereng yang saat ini menjadi monster kecil dan ditakuti penduduk di Republik ini? ’’Ngapain’’ bertaruh dengan risiko kesehatan dirinya?

:TERKAIT Bagi kawan-kawan di Jawa Pos Group, gaya ’’ngapain’’ itu bukan trik baru. Dua puluh lima tahun silam juga sudah begitu! Dia menyebut bahwa seorang pimpinan itu harus bisa ’’ngeloni’’ (baca: meniduri dengan memeluk erat selayaknya guling, red) perusahaannya. Didalami, dihayati, dijiwai, ditunggui, sampai-sampai, --kalau perlu--, harus ditiduri untuk men-scanning segala problematika perusahaan. Sampai hal-hal yang paling mendasar, lalu ditemukan solusi kreatifnya.

Cek saja pasca bermalam itu, pasti akan ada ’’gempa susulan’’ berupa kebijakan-kebijakan baru. Bisa penajaman kebijakan lama, bisa pula perubahan yang akrobatik. Semua bisa terjadi. Mata, telinga, dan rasa Dahlan pada saat turun lapangan seperti itu seperti alat recording dengan daya rekam super. PT Jasa Marga dengan tragedi lempar kursi di pintu tol Semanggi itu hanyalah contoh kecil di antara ribuan spontanitas lain.

Di Kulonprogo misalnya, dia mencatat produktivitas lahan yang menurun, dari 1.800 meter persegi, hanya menghasilkan 10 kwintal? Belum dipotong sewa traktor untuk pengolahan tanah pra tanam, membeli pupuk, membeli pestisida untuk membasmi sundep, keuntungan petani hanya 1 kwintal gabah kering. Kalau per kilogram hanya untung Rp 3.000, maka tiga bulan bercocok tanam padi, hanya menghasilkan Rp 300.000.

Bagaimana mungkin petani bisa melepaskan diri dari jeratan kemiskinan? Tidak ada pintu? Pertanian menjadi tidak popular buat anak-anak muda. Konsep Negara Agraris, yang berbasis pada pertanian, tak lama lagi harus direvisi. BUMN yang bergerak di sektor pertanian, pasti dipaksa berpikir untuk mencari solusinya. PT PUSRI, PT Sang Hyang Seri, Perum Bulog, dan yang terkait gerakan Pro-Beras, pasti sedang galau saat ini.

Sama juga dengan pimpinan Perum Perumnas, ketika Dahlan Iskan merasakan atmosfer semalam di Rusun Pulau Gebang itu. Jakarta adalah cermin dari wajah negeri, ibu kota negeri, yang harus cantik luar dalam. Tidak hanya indah di Sudirman-Thamrin, tetapi juga cantik di Cakung, Cilincing, kawasan-kawasan pemukiman kumuh di Utara dan pinggiran sungai. Perumnas bisa berbuat apa?

Malam itu, kami sedang asyik bersimulasi mempersiapkan ’’Pasrah’’ alias Pasar Murah yang diinisiasi Bank Mandiri-Jasa Raharja-Jamsostek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News