Ini Zaman Teknologi, Tak Kan Lari HP Dikejar

Ini Zaman Teknologi, Tak Kan Lari HP Dikejar
SERU: Menpora Roy Suryo (kanan) saat berdiskusi dengan awak redaksi di Graha Pena Jakarta. Foto: Ismail Pohan/Indopos/ JPNN
Aksen Jawa berlogat khas Jogjakarta-nya masih amat kental. Humoris, murah senyum, friendly, ceplas-ceplos, adalah gaya lama yang tetap mendominasi perawakannya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga menggantikan Andi Malarangeng saat ini. Mungkin karena itu, pria berkumis yang bernama lengkap Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo ini malah cekatan mengurai benang kusut persoalan di PSSI.

Dualisme PSSI pun beres di tangan pria kelahiran Kota Gudeg, 18 Juli 1968 itu. Dualisme KNPI juga menemukan titik terang begitu dia menjadi nahkoda Kemenpora. Padahal, saat ditelepon Mensesneg Sudi Silalahi yang menyampaikan pesan dari Presiden SBY untuk menanyakan kesanggupannya menjadi Menpora, Roy Suryo sendiri sempat ragu. “Ah, saya tidak cocok! Saya nggak bisa olahraga kok suruh menjadi Menpora?” jawab Roy sambil mengendarai Mercy kesayangannya dalam perjalanan Jogja-Jakarta, saat ditawari jabatan itu.

Tidak salah, kala itu dunia twitter, facebook, dan semua media on line menyebut Presiden SBY salah pilih. Ahli dunia maya, pakar telematika, kok menahkodai kementerian olahraga. Ibarat “Jaka Sembung Naik Ojek.” Artinya: gak nyambung Jeck! Tetapi, ketika tugas itu dia jalani dengan serius, Roy Suryo pun menemukan banyak trik untuk memajukan dunia olahraga dan kepemudaan di Indonesia.

“Saya jemput bola. Saya datangi pusat-pusat pemusatan atlet. Saya datangi PB (Pengurus Besar, red). Tidak ada budaya audinsi dengan Menpora, karena itu menghabiskan waktu untuk berlatih. Saya yang rajin berkunjung ke venue-venue, agar dekat dengan atlet, pelatih, ofisial, pengurus, dan segala komunitas penggemarnya. Dari situ pula, saya banyak menerima masukan, kritik, saran, yang berguna untuk memajukan olahraga dan kepemudaan di tanah air,” kata Roy.

Apriori public pun dia rasakan. Melalui akun twitter dan social media yang lain, dia menangkap kesan diremehkan, diragukan dan dianggap tidak kompeten. “Tetapi itu justru bagus. Saya terima dengan lapang dada. Dari situ dapat banyak masukan,’’ aku Roy dalam diskusi sekitar 90 menit dengan awak redaksi INDOPOS di Gedung Graha Pena Jakarta kemarin.

Aksen Jawa berlogat khas Jogjakarta-nya masih amat kental. Humoris, murah senyum, friendly, ceplas-ceplos, adalah gaya lama yang tetap mendominasi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News