Tuhan Sayang Hafidz...

Tuhan Sayang Hafidz...
Muhammad Sayid Hafidz sebelum menjalani operasi ganti hati. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - TUHAN rupanya memiliki rencana lain terhadap perjuangan hidup yang telah dilakukan Muhammad Sayid Hafidz (8), bocah penderita Allagille Syndrom itu. Hafidz akhirnya menyerah dan tidur untuk selama-lamanya pada Senin malam (24/3).

Senin malam, sekitar pukul 19:00, kesibukan nampak jelas di dalam ruangan ICU RS Pertamedika Sentul City (RS PSC). Tim dokter yang terdiri dari dokter ahli bedah saraf, dr. Deny Handayanto, Sp.B., spesialis anak, dr. Analysa Margaretha Bogar, SpA, spesialis Anestesi dr. Dyah Yarlitasari, Sp.An, dan Ketua Tim, dr Kamelia Faisal, mengerubungi tubuh mungil yang terbujur lemah di brankar.
    
Di ruangan itulah Hafidz mendapatkan perawatan intensif. Sejumlah selang infus menancap di tubuhnya. Termasuk alat bantu pernafasan yang tak pernah lepas dari hidungnya. Di luar ruang ICU, orangtua Hafidz, Sugeng Kartika (45) dan Maria Ulfa (45) memajang raut wajah tegang.

Kedua mata mereka nanar menahan tangis. Tangan mereka hanya menyentuh kaca di balik ruang ICU.     
    
Sekitar selang sejam, tim dokter kembali berkumpul. Mereka terlihat berunding. Tak lama, Sugeng dan Maria dipanggil dan diizinkan masuk ruang ICU. Keduanya masuk mengenakan pakaian steril berwarna krem. Meski boleh bersua dengan si sulung yang tergolek tak sadarkan diri. Dokter memberikan jarak satu meter kepada Sugeng dan Maria. Mereka masih tak boleh bersentuhan.
    
Dokter nampak terus berupaya meningkatkan kondisi Hafidz. Semuanya nyaris berjalan sesuai rencana hingga pukul 23:45 tiba. Mendadak paru-paru Hafidz tak lagi bekerja. Jantungnya berhenti berdetak. Suasana yang tadinya hening akhirnya pecah setelah dokter memastikan bahwa Hafidz telah meninggal.
    
Sugeng yang sebelumnya tampak paling tegar pun gontai. Dia lantas memegangi Maria yang sudah berderai air mata. Meski sudah dinyatakan meninggal, Sugeng dan Maria tidak bisa menyentuh anaknya.

Keduanya langsung dibawa tim dokter ke luar ruang ICU sambil menunggui tim dokter lainnya, melepaskan seluruh alat perawatan yang menempel pada tubuh Hafidz.
    
“Hafidz meninggal dunia sekitar pukul 23:45. Allah SWT memberikan jalan terbaiknya. Tuhan sayang dengan Hafidz,” kata dr Kamelia berlinang air mata. Meninggalnya Hafidz memang sungguh mengejutkan. Sempat prima sejak sepekan menjalani operasi transplantasi hati, kondisi Hafidz mendadak drop sejak Senin (17/3).
    
dr Kamelia mengatakan, penurunan kondisi Hafidz terus terjadi hingga Senin (24/3) sore. Tim dokter pun melakukan semua prosedur medis yang diperlukan. Kamelia menjelaskan, penyebab meninggalnya Hafidz secara medis hampir tidak berhubungan dengan operasi ganti hati yang dijalani bocah tersebut sebulan lalu.
    
Hafidz mengalami gagal napas akibat pneumonia (radang paru). Di paru-parunya terdapat cairan yang setelah diteliti ditemukan parasit amoeba yang bersifat pathogen (menyebabkan penyakit). Amoeba itu diduga sudah ada sejak sebelum Hafidz menjalani operasi.
      
"Sebelum operasi memang tidak diprediksi ke sana karena memang protokolnya tidak memerintahkan atau meminta untuk memeriksa ke arah amoeba," tuturnya.
      
Pemeriksaan paru-paru Hafidz sebelum operasi menunjukkan sudah ada gangguan pneumonia ringan. Namun, hal itu telah diatasi dengan antibiotik. Tujuannya, agar kondisi putra pasangan Sugeng Kartika dan Maria Ulfa itu lebih fit dan siap menjalani operasi.
      
Secara umum, lanjutnya, operasi ganti hati Hafidz berjalan sukses. Dia berhasil melewati masa penolakan terhadap hati baru oleh tubuhnya. Hal itu dibuktikan dengan laporan-laporan hasil medis baik lab maupun rontgen dan USG. Sambungan hati dan pembuluh darahnya berfungsi dengan baik.
      
Kemudian, feses Hafidz berwarna cokelat. Hal itu berarti sistem sekresi dari hati sudah bekerja. Urinenya juga sudah baik. Pada pekan ketiga, Hafidz sudah mendapatkan perkembangan yang baik.

Bocah yang mendapatkan cangkok hati dari sang ayah itu bisa makan berbagai makanan, juga sudah banyak bergerak dan beraktivitas seperti menggambar. Kondisi itu terjadi hingga akhir pekan ketiga pascaoperasi.
     
“Hafidz sudah menjalani fisioterapi, belajar gambar, ventilator dicabut,” ungkap Kamelia yang juga menjabat sebagai Direktur Operasional RSPSC.
    
Hafidz sudah dapat melewati masa rijeksen akut, proses adaptasi organ baru terhadap organ tubuh yang lain hingga akhir minggu ke tiga memasuki minggu ke empat. Pada hari ke-17 pasca operasi, bocah berusia delapan tahun ini mengalami gangguan pernafasan, sesak.  Dengan kondisi tersebut, tim dokter memutuskan untuk dilakukan pemindahan ruang rawat ke ICU dan memasang alat bantu nafas.
 
 Tim dokter mendapati ada pneumonia atau radang paru yang berujung temuan parasit tergolong ganas amoeba histolytica. Menurut Kamelia, umumnya Amoeba menyerang manusia di bagian usus.

Dalam kasus Hafidz, kondisi tubuhnya setelah transplant memang dilemahkan agar hati barunya bisa diterima tubuh. Dia diberi obat imunosupresan untuk menguatkan sistem imun dari luar, ditambah dengan steroid. Itu membantu agar imunitas tubuh terjaga selama masa adaptasi hati.
      
"Imunosupresan dengan steroid itu sepertinya membangkitkan kembali amoeba yang ada di tubuh hafidz yang sudah ada sejak sebelumnya," kata Kamelia. Sebab, amoeba tidak mungkin tumbuh secara tiba-tiba. Pada tubuh yang sehat, keberadaan amoeba tidak menjadi masalah. Lain halnya dengan Hafidz yang saat itu kondisinya lemah.
      
Amoeba tersebut menyerang sampai ke paru. Tim dokter telah memberikan obat untuk menurunkan dan mematikan amoebanya. Namun, karena terdapat kontradiksi dengan obat imunosupresan dan steroid, maka fungsi-fungsi dari metabolik dan sistemik tubuh Hafidz saling berlawanan. Akhirnya, terjadi gagal napas.  (rp7/dkw/jp)


TUHAN rupanya memiliki rencana lain terhadap perjuangan hidup yang telah dilakukan Muhammad Sayid Hafidz (8), bocah penderita Allagille Syndrom itu.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News