Melongok Gemerlap Kaum Lesbian di Kota Tua

Antara Butchy dan Femme, Mereka Cari Sandaran Hidup

Melongok Gemerlap Kaum Lesbian di Kota Tua
Melongok Gemerlap Kaum Lesbian di Kota Tua

KENIKMATAN hidup glamour dan memiliki banyak teman, memaksa paradigma berpikir lesbian belia untuk tampil beda. Ini yang mendorong para butchy dan femme di Kota Tua Jakarta membentuk sosialita kelas bawah ala mereka.
----------------
ASEP ANANJAYA
----------------
Alunan house music khas hiburan malam mendentum dari salah satu ruangan di dalam gedung tua di Kota Tua. Sayupnya terdengar sampai pinggiran Kali Besar Timur. Di teras depan gedung, para butchy dan femme saling berkasih-sayang. Tempat berjualan seorang pria tua yang akrab disapa babeh itu menjelma menjadi cafetaria kecil.

Segala jenis minuman ringan tersedia. Di bangku-meja kayu para butchy dan femme saling mencurahkan isi hati. ”Makin malam, makin banyak butchy sama femme yang mampir, banyak orang baru juga,” ucap RN (20). Butchy berpotongan rambut pixie ini datang bersama seorang femme yang tak lain adik sepupunya CH (18).

”Sorry Cin (cinta), dah lama?,” sapa CH ke para butchy yang tak lain, CP dan MC. Berbeda dengan lesbian lainnya, sebagai seorang femme, CH harus tampil feminis. Rambut panjangnya terurai. Meski tak tercium parfum dari tubuhnya, gaya berpakaian CH menonjolkan aurat dada yang sedikit terbuka.
     
”Gue demen cari cabe-cabean cuma buat ngeduitin aja, kalo nyaman lebih enak sama butchy lah, kan bisa jagain gue,” ujar femme bertubuh langsing ini. Senasib dengan lesbian lainnya, CH mengaku berasal dari kalangan keluarga broken home. Ayah CH yang katanya seorang pengusaha, tinggal di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Namun, ia lebih memilih pergi dari rumah mewah, dan tinggal mengontrak bersama sepupunya RN di bilangan Cengkareng, Jakarta Barat. Sifatnya yang arogan, merasa tak peduli jika penyimpangan daya tarik seksual sesama jenis yang dialaminya diketahui sang ayah.

Sampai akhirnya orang tua CH pun memaklumi. Bahkan, tak perlu khawatir putrinya hamil di luar nikah karena menyukai sesama perempuan.
     
”Tapi, mending kagak ada di rumahlah, daripada ngelihat bokap (bapak) yang suka main perempuan. Nyakitin nyokap (ibu) gue terus. Lagian dia juga tau kok kalo gue 'belok',” ujarnya.

RN dan CH belum lama bergabung dengan kelompok lesbian yang berkumpul di gedung tua itu. CP dan MC juga tak menduga kalau CH ini seorang dancer di sebuah tempat hiburan malam.

Tubuhnya kurus, kulitnya hitam dan tidak bisa dibilang mulus. Pakaiannya juga sederhana, berkaos ketat, dan berjeans hitam. Gaya bicara CH agak tinggi. Ia tak ingin dianggap sebagai cewek alay atau cabe-cabean murahan. CH mengaku memiliki banyak teman femme yang bekerja sebagai LC (ladies companion) di tempat karaoke dan hiburan malam.
     
Tak segan, ia juga mengakui, kalau sebenarnya memiliki seorang pacar pria warga negara Australia yang sedang bertugas di Jakarta. Sambil menghisap rokok, femme ini selalu meracau soal tempat-tempat clubbing yang biasa ia kunjungi, katanya. Seperti Mile (Millenium) atau Stadium di bilangan Taman Sari, Jakarta Barat. Disana, dia mengaku sudah kenal yang pegang.

Jadi, bisa masuk kapan saja. ”Enaknya kalau udah house music gini kena 'vitamin' nih, cimenk (ganja) juga boleh,” ucap CH berkelakar kalau dirinya terbiasa mengkonsumsi vitamin yang dimaksudnya ekstasi.
 
Ia juga pantang nenggak minuman keras jika tidak diberi uang tip, layaknya LC.

KENIKMATAN hidup glamour dan memiliki banyak teman, memaksa paradigma berpikir lesbian belia untuk tampil beda. Ini yang mendorong para butchy dan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News