Curahan Hati Ibu Korban Bullying

Curahan Hati Ibu Korban Bullying
Foto ilustrasi diperagakan Milka Melvariza dan Virgianty Kusumah – Foto: Dite Surendra/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Tidak ingin pengalaman pribadi terjadi lagi, Sarah (bukan nama sebenarnya) menjadi overprotektif kepada dua buah hatinya. Sarah adalah orang tua yang memiliki pengalaman sebagai korban bullying masa SMP hingga SMA. Menemukan binatang di dalam tas, dikunci di dalam kamar mandi, mendapat ejekan karena memiliki badan mungil, dan setiap hari ditertawakan teman-teman sekelas merupakan beberapa pengalaman buruk yang tak terlupakan oleh Sarah.

Ujungnya, kejadian tersebut membuat Sarah tidak ingin bersekolah lagi. Hingga akhirnya dia mengalami depresi. Perasaan ingin bunuh diri sempat merasukinya. ’’Saya sangat tertekan dengan hal tersebut. Ditambah lagi, orang tua saya otoriter dan keras pada saya. Saya sempat merasa tidak mendapat perlindungan,’’ cerita perempuan 39 tahun tersebut.

Tekanan mental itu juga berakibat pada kondisi badannya. Sarah menjelaskan, dirinya merasakan sakit kepala yang terus-menerus tanpa sebab yang jelas. Sejak saat itu, hati Sarah terdorong untuk ke psikolog demi menjalani terapi.

Kondisi Sarah sedikit demi sedikit membaik. Dia mampu menjalani aktivitasnya secara normal. Namun, kejadian fatal yang pernah dialami Sarah itu memengaruhi pola asuh kepada dua anaknya. Dia menjadi overprotektif kepada anaknya, sebagai benteng perlindungan dari gangguan seperti yang dialaminya.

Overprotektif yang dimaksud, antara lain, anak sulung homeschooling dan mengawasi kegiatan anak secara terus-menerus. Selain itu, Sarah selalu meminta anaknya untuk bercerita apa pun kejadian di sekolah kepadanya. ’’Saya hanya ingin anak tidak menjadi korban bullying seperti saya sebelumnya. Saya ingin anak selalu dekat. Saya berusaha mengajak ngobrol anak-anak,’’ terangnya.

Namun, Sarah sadar pola asuhnya tersebut berlebihan. Dia mendapat saran dari temannya, yang seorang psikolog, bahwa homeschooling baik untuk anak. Meski demikian, anak tidak bisa bersosialisasi dengan teman sebaya. Sarah pun memindahkan anaknya ke sekolah umum. ’’Waktu itu, saya pikir kalau sekolah umum hanya berfungsi sebagai pembentukan secara akademis. Namun, ada seorang teman dekat yang mengingatkan saya bahwa sekolah umum itu penting untuk membangkitkan sosialisasi anak,’’ ungkapnya.

Kini, Sarah lebih memilih selalu mengajarkan kepada anaknya untuk berani bercerita. Bukan bertujuan protektif, Sarah selalu ingin anak merasa nyaman dan dekat dengannya. ’’Saya merasa anak korban bully itu karena ada kesempatan. Anak tidak berani berontak dan kurangnya support mental dari orang tua dalam pembentukan karakter anak,’’ ujarnya. (bri/cik/c14/c7/nda)

 

Tidak ingin pengalaman pribadi terjadi lagi, Sarah (bukan nama sebenarnya) menjadi overprotektif kepada dua buah hatinya. Sarah adalah orang tua


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News