Cegah Speech Delay Anak, Terapi Harus Dituntaskan

Cegah Speech Delay Anak, Terapi Harus Dituntaskan
Foto ilustrasi diperagakan Ribka Trisnawati dan Nabilla Razqa Aqueena - Foto: Dite Surendra/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Nikesari menyadari putra bungsunya, Dervish, mengalami gangguan speech delay saat berusia setahun lima bulan. Gejala tersebut diketahui saat Dervish tidak mampu mengucapkan kata ’’ma’’atau ’’pa’’layaknya kemampuan yang dimiliki anak normal lain.

Selain ketidakmampuan mengucapkan lafal tersebut, ”perbedaan” itu ditandai oleh perilaku anak yang saat ini berusia lima tahun tersebut. Misalnya, suka marah, membanting, serta melempar benda-benda di sekitarnya.

Nike merasa sangat khawatir terhadap kondisi putranya. Tidak menunggu lama, Nike dan suaminya segera berkonsultasi ke dokter. Dari keterangan dokter itulah diketahui bahwa Dervish mengalami gangguan keterlambatan bicara. ’’Saya merasa kok Dervish tidak bisa mengucapkan kata dengan jelas. Dia hanya bisa bilang ’aw..aw’ aja. Saat itu saya langsung membawa Dervish ke dokter spesialis anak dan psikiater,” kenang perempuan berjilbab tersebut.

Setelah diusut, faktor utama penyebab gangguan yang dialami Dervish adalah kurangnya perhatian dari orang tua. Karena kesibukan bekerja, Nike menitipkan Dervish kepada kakaknya yang tinggal di Surabaya sejak usia satu bulan. Terhitung selama setahun, Dervish tidak mendapatkan asuhan dari orang tuanya. Pada usia satu tahun, Nike mengambil alih pengasuhan Dervish kembali. Dia memboyong Dervish ke Jakarta.

Selain perubahan pola asuh, perubahan kondisi lingkungan memicu Dervish mengalami speech delay. ’’Ya di Surabaya, dia tinggal dengan orang banyak...ramai. Sedangkan di Jakarta, sepi. Saya dan suami juga sibuk bekerja. Pada akhirnya Dervish diasuh babysitter,’’ cerita ibu dua anak tersebut.

Sekitar 1,5 tahun, Dervish menghabiskan waktu untuk menjalani terapi. Dalam seminggu, dia menjalani dua sampai tiga sesi terapi. Sebulan sekali orang tua dipanggil ke rumah sakit untuk evaluasi perkembangan Dervish.

Terapi itu, ungkap Nike, membawa perubahan pesat bagi perkembangan dan kebiasaan putranya. Sekarang Dervish tidak pernah marah lagi, rajin, buang sampah pada tempatnya, dan selalu membereskan mainannya dengan rapi. ”Terapinya memang berat. Saya pernah melihat beberapa kali sesi terapi. Badan Dervish dijungkir kebalik, disuruh gulung-gulung sebagai ketahanan fisik, dan diletakkan kapas berair hangat di lidah Dervish sambil bicara,’’ kenangnya.

Berkiblat pada kejadian tersebut, Nike mengambil keputusan untuk resign dari pekerjaannya. Dia memilih menjadi ibu rumah tangga yang mencurahkan seluruh waktunya untuk anak-anak dan keluarga. ’’Ibaratnya, anak itu seperti kucing. Kalau jarang dideketin, mereka jadi liar. Akhirnya saya memilih resign,’’ ungkapnya.

Nikesari menyadari putra bungsunya, Dervish, mengalami gangguan speech delay saat berusia setahun lima bulan. Gejala tersebut diketahui saat Dervish

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News