Dalih Apa pun, SBY Tetap tak Dipercaya Publik

Dalih Apa pun, SBY Tetap tak Dipercaya Publik
Dalih Apa pun, SBY Tetap tak Dipercaya Publik. JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA – Pernyataan kaget dan kecewa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas keputusan DPR menetapkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat DPRD dinilai tak dapat diterima oleh publik. Apalagi jika dilihat dari aspek tatacara dan prosedur pembahasan peraturan perundang-undangan.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri mengatakan aturan dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dengatn tegas menaytakan bahwa RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Kata dia, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) merupakan wakil pemerintah yang memegang Surat Presiden (Surpres), bertugas mewakili Presiden membahas RUU bersama Panitia Kerja Komisi I DPR-RI yang ditugaskan membahas RUU Pilkada.

“Nah selama ini Presiden SBY melalui Mendagri, tidak pernah menarik diri atau menyatakan ketidaksetujuan ataupun mengajukan keberatan atas gagasan pilkada tidak langsung. Mendagri juga mewakili Presiden SBY ketika mengajukan dua opsi RUU yang masing-masing memuat mekanisme pilkada langsung dan pilkada tidak langsung untuk dibahas lanjut di Pembicaraan Tingkat II DPR,” ujarnya di Jakarta, Selasa (30/9).

Menurut Ronald, persetujuan bersama sesungguhnya sudah terjadi dan telah tercapai sejak Mendagri yang mewakili Presiden menyetujui untuk mengajukan dua opsi dan memasuki Pembicaraan Tingkat II di DPR.

Apabila benar ada kesungguhan penolakan kata Ronald, seharusnya disampaikan oleh Presiden SBY melalui Mendagri, sebelum memasuki pembicaraan tingkat II di DPR. Presiden kata Ronald, melalui Mendagri bisa menyatakan ketidaksetujuannya, menarik diri, dan menolak untuk melanjutkan ke pembicaraan tingkat II.

“Karena itu dalam menolak pengaturan pilkada tidak langsung, Presiden seharusnya menggunakan mekanisme dan tatacara formal yang ada, bukan dengan cara beropini di media sosial, sementara wakil resminya mendukung dua opsi yang ada di DPR,” ujarnya.


Ronald mengatakan langkah menyatakan ketidaksetujuan dan menarik diri sebelum masuk ke pembicaraan tingkat II, pernah dilakukan oleh Presiden SBY baru-baru ini pada pembahasan RUU Tabungan Perumahan Rakyat, 23 September 2014 lalu. Langkah itu akhirnya menghentikan kelanjutan pembahasan RUU tersebut.

“Makanya keinginan Presiden SBY untuk tidak mengesahkan atau tidak menandatangani UU Pilkada merupakan tindakan yang sama sekali tidak memiliki dampak hukum terhadap keabsahan undang-undang itu. Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa sebuah RUU yang telah disetujui bersama tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak persetujuan bersama itu akan tetap sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan,” ujarnya.(gir/jpnn)


JAKARTA – Pernyataan kaget dan kecewa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas keputusan DPR menetapkan pemilihan kepala daerah (Pilkada)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News