Orang-orang Pigmi di NTT yang Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan

Orang-orang Pigmi di NTT yang Hampir Punah, Miskin, dan Terpinggirkan
BAK RAKSASA: Wartawan Jawa Pos Hilmi Setiawan (tengah) bersama pasangan suami istri pigmi Rampasasa; Viktor Jemarut, 80, dan Tekla Ndandus, 76. (Jawa Pos Photo)

jpnn.com - Keberadaan masyarakat pigmi di Dusun Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menyimpan misteri. Konon, postur tubuh mereka yang pendek mewarisi gen manusia purba Homo Floresiensis yang fosilnya ditemukan di Gua Ling Bua, tak jauh dari Rampasasa.

Laporan Hilmi Setiawan, Manggarai

MISTERI orang pigmi Rampasasa itu menarik perhatian dr Aman Bhakti Pulungan. Aman menganggap keberadaan mereka terlihat ’’ganjil’’ dibanding orang modern pada umumnya. Postur orang pigmi paling tinggi hanya 150 cm, namun dengan organ tubuh yang tumbuh ’’normal’’. Karena itulah, Aman lalu menjadikan orang-orang pigmi sebagai objek penelitian disertasinya untuk meraih gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) 13 Januari lalu (Jawa Pos, 15 Januari 2015).

Berdasar penelitian Aman, postur pendek orang pigmi tidak disebabkan kekurangan gizi atau zat kalsium. Bahkan, kata dosen FKUI tersebut, asupan gizi orang-orang pigmi lebih dari cukup. Malah, yang ekstrem, lebih baik dibanding gizi orang Jakarta.

Aman menyimpulkan bahwa postur pendek orang-orang pigmi ternyata merupakan faktor genetis alias keturunan. Mereka diindikasi masih keturunan manusia purba masyarakat Flores (Homo Floresiensis) yang hidup ratusan tahun silam di Flores.

Atas dasar hasil penelitian Aman itu, Jawa Pos menemui langsung orang-orang pigmi di Rampasasa 16 Januari lalu. Hingga saat ini orang pigmi di Rampasasa masih tersisa sekitar 200 jiwa.

Begitu sampai di dusun yang terletak di lereng bukit itu, saya langsung berkunjung ke salah satu rumah warga pigmi. Memang, setiap tamu yang datang ke kampung kate Rampasasa akan diajak masuk ke rumah gendang, rumah adat mereka. Dinamai rumah gendang karena di tiang penyangga rumah bagian tengah digantung beberapa buah gendang. Juga ada perisai dan cambuk. Ketiganya dipakai saat ada perhelatan tarian adat caci setiap selesai musim panen, sekitar Agustus.

Saat masuk rumah kecil itu, saya seperti raksasa yang sedang masuk rumah liliput. Tinggi tubuh saya yang sekitar 170 cm nyaris menyundul kayu penyangga atap yang terbuat dari seng. Bahkan, ketika melalui pintu, saya harus merunduk agar tidak terbentur gawangnya yang hanya setinggi 1,7 meter.

Keberadaan masyarakat pigmi di Dusun Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih menyimpan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News