Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal

Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal
Donald Trump pun Menjabat Tangannya dengan Terpingkal-pingkal

jpnn.com - INILAH dialog dua sahabat beda agama tentang perkenalan pertama mereka yang kurang menyenangkan. Ini terjadi di New York, antara tokoh Islam terpenting dan tokoh Yahudi tertinggi di kota itu. Tidak disangka, dua tokoh itu kemudian menjadi partner penting dalam sama-sama menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Mereka terus tampil bersama di berbagai negara sebagai simbol perdamaian antara umat Islam dan Yahudi. Setiap mengingat lagi perkenalan pertama yang tidak mengenakkan itu, keduanya merasa geli. Saat itu New York memang lagi gawat. Tragedi 9/11 baru saja terjadi. Umat Islam New York terpojok oleh kasus terorisme itu.

Untuk meredakan ketegangan, wali kota New York mengumpulkan tokoh dari semua agama. Saat itulah tokoh Islam tersebut berusaha menyalami semua tokoh di situ. Tapi, tiba giliran menyalami tokoh Yahudi, yang dia terima sikap tidak bersahabat. Mau bersalaman, tapi tidak mau menatap wajah. Suatu saat, ketika keduanya sudah menjadi sahabat karib, soal itu mereka bicarakan. Inilah dialog itu.

”Kenapa waktu saya ajak bersalaman dulu Anda melengos?” tanya sang tokoh Islam sambil tersenyum.

”Maafkan. Waktu itu saya tidak menyangka Anda itu pemimpin yang mewakili Islam,” jawab sang tokoh Yahudi. ”Anda kan bukan Arab. Tidak berjenggot,” katanya. ”Saya pikir Islam itu mesti Arab,” tambahnya.

Memang tokoh Islam tersebut jauh dari gambaran Arab. Tubuhnya kecil (berat badannya 50 kg dengan tinggi 165 cm). Juga tidak bergamis dan tidak berjenggot. Selain itu, bibirnya terus menyunggingkan senyum. Dia memang bukan Arab sama sekali.

Jangan kaget: Dia orang Indonesia asli. Namanya Shamsi Ali. Asalnya Sulawesi Selatan. Tepatnya dari pelosok Desa Tana Toa, lima jam perjalanan mobil dari Makassar. Dua kali saya bertemu Ustad Shamsi Ali. Pertama di Washington, saat saya ikut mendampingi Bapak Presiden SBY yang menginginkan bertemu sang ustad. Kedua, di Jakarta minggu lalu. Saya berdiskusi panjang saat beliau berkunjung ke tanah air bersama Rabi Marc Schneier, sang tokoh Yahudi. Dua kali pula saya membaca bukunya yang sangat menarik, yang dialognya saya kutip di atas. Buku berjudul Anak-Anak Ibrahim (Sons of Abraham) itu ditulis bersama oleh Ustad Shamsi dan Rabi Schneier. Yang memberikan kata pengantar Bill Clinton.

Bagaimana putra Tana Toa itu bisa jadi imam besar di New York juga diceritakan di Anak-Anak Ibrahim dengan menarik. Dia lahir di desa yang amat terbelakang. Saat dia lahir, penduduk desa itu, termasuk bapak-ibunya, memang beragama Islam, tapi lebih percaya takhayul. Sekarang pun masih ada penduduk Tana Toa yang naik hajinya bukan ke Makkah, melainkan ke sebuah bukit di desa itu. Bahkan, mereka percaya bahwa Nabi Muhammad lahir di Tana Toa. Belum lama ini, kata Ustad Shamsi, tokoh desa itu ditawari naik haji secara gratis. Dia menolak. Naik haji itu, katanya, cukup ke Tana Toa. Ini mirip dengan yang terjadi di Kabupaten Gowa, juga di Sulsel. Tiap tahun ratusan orang naik haji ke Gunung Bawakaraeng.

INILAH dialog dua sahabat beda agama tentang perkenalan pertama mereka yang kurang menyenangkan. Ini terjadi di New York, antara tokoh Islam terpenting

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News