Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika

Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika
Militansi Kesuburan dari Keluarga Fisika

jpnn.com - SALAH satu tamu saya pekan lalu adalah seorang lelaki yang umurnya persis dengan saya, 64 tahun. Waktu datang, jalannya tertatih-tatih. Waktu mau duduk, dia harus menata dulu posisi pantatnya. Waktu mau bangkit lebih sulit lagi: Dua tangannya harus bisa menyangga pantatnya.

Tapi, otaknya cerdas. Melebihi saya. Dia seorang ilmuwan. Dia ahli fisika murni. Dia kelihatannya sengaja dilahirkan untuk menjadi peneliti. Sampai-sampai badannya jadi korban penelitiannya. Hampir seluruh tubuhnya mengalami luka bakar: Rangkaian peralatan penelitiannya meledak, menyambar bensin dan membakar dirinya.

Namanya sulit ditemukan di media: Ir Lulus Tjahyo Purnomo. Asli Peneleh, Surabaya.

Sudah 20 tahun Tjahyo melakukan penelitian di halaman rumahnya: mengisap udara, mengambil unsur tertentu dari udara itu, lalu menjadikannya zat untuk menyuburkan tanah. Dia begitu prihatin melihat rendahnya produksi kedelai di Indonesia. Penyebabnya jelas: Kesuburan tanah-tanah pertanian kita merosot. Itu akibat penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus. Sejak awal Orde Baru pada 1967. Dan terlalu banyak.

Kian turun kesuburan tanah, kian banyak pupuk kimia yang diperlukan. Kian banyak pupuk yang diberikan, kian tidak subur tanahnya. Muter. Seperti goyang Inul.

Tjahyo ingin mengembalikan kesuburan itu. Tiga tahun lalu, saat penelitiannya sudah mendekati berhasil, peralatannya meledak. Tjahyo terkapar dengan 70 persen badannya terbakar. Istrinya, yang guru SMA, lagi mengajar. Anak sulungnya tinggal di Jerman. Empat anak lainnya lagi kuliah.

Tinggal satu anaknya yang belum berangkat ke kampus: Muhammad Mughnii Caryophyllus Purnomo. Panggilannya Ari. Sore itu Ari lagi di ruang makan. Nonton TV. Tiba-tiba ada cahaya merah yang memantul kuat. Dia kaget. Lari ke asal cahaya. Di halaman terlihat ayahnya berguling-guling, menderita karena terbakar. Tanpa sedikit pun pakaian yang masih tersisa. Hampir seluruh badannya gosong. Kejang-kejang. Lalu terkulai diam. Ari panik. Bapaknya dikira tewas. Tidak ada respons sedikit pun.

Empat bulan Tjahyo dirawat di RSUD dr Soetomo, Surabaya. Sambil terbaring di RS itulah, Tjahyo terus memikirkan nasib hasil penelitiannya. Dia memang sudah berhasil menangkap zat yang dibutuhkannya. Yang masih dia risaukan: haruskah menggunakan alat yang bisa meledak seperti itu. Tidak. Harus ada jalan lain.

SALAH satu tamu saya pekan lalu adalah seorang lelaki yang umurnya persis dengan saya, 64 tahun. Waktu datang, jalannya tertatih-tatih. Waktu mau

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News