Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah

Separuh Hidup untuk Jaga Heart of Borneo

Kerisauan M. Haitami, sang Penjaga Tradisi Ukiran Dayak di Kalimantan Tengah
KHAS DAYAK: Haitami menunjukkan salah satu karyanya, ukiran Dayak yang terbuat dari kayu ulin. Model ukiran itu telah menyebar ke berbagai negara. Foto: Amri Husniati/Jawa Pos

jpnn.com - ’Kalau memang pemerintah daerah tidak mau membantu, biar saya bakar saja semua kerajinan serta alatnya. Biarlah riwayat Baniang terkubur selamanya.’’ Kata-kata bernada pedih itu meluncur dari bibir M. Haitami, perajin tradisional ukiran kayu khas Dayak.

Laporan Amri Husniati, Sampit

HAITAMI, penjaga kearifan lokal Borneo itu, tidak mampu menyembunyikan emosinya ketika Jawa Pos berkunjung ke workshop-nya yang bersahaja di Mentaya Seberang, Kecamatan Seranau, Kotawaringin Timur, Kalteng, Rabu siang (15/4).

Rupanya, sepucuk surat yang diterima sehari sebelumnya membuat pria sepuh itu gundah bukan kepalang. Bukan soal kelanjutan nasib periuk belanga keluarganya. Namun, Haitami lebih memikirkan nasib salah satu warisan budaya Dayak pada masa mendatang.

Dalam layang yang diketik rapi tersebut, sang pengirim, Tono, menyatakan tidak sanggup lagi mengulurkan tangannya untuk membantu usaha kerajinan kayu bernama Baniang yang dirintis Haitami itu. Bahkan, pengusaha yang tinggal di Jl Terusan Dieng, Malang, Jawa Timur, tersebut berniat meminta kembali tanah yang sejak 1992 dipinjamkannya untuk usaha Baniang. Yang seperempat bagian sudah dihibahkan untuk bangunan SD di belakang Baniang.

’’Selama dipinjami, kami tidak pernah bayar,’’ tutur pria yang usianya memasuki kepala enam itu. Bahkan, yang mengusahakan sambungan listriknya juga Tono. ’’Kalaupun kini diminta, kami bisanya apa selain mengembalikan? Sebab, itu memang bukan milik kami. Bukan hak kami.’’

Dengan berapi-api, pria sepuh yang akrab disebut Pak Tamik itu menuturkan, dirinya sangat bisa memahami mengapa tanah yang dipinjamnya itu diminta kembali. Pasalnya, kondisi keuangan sang bapak asuh Baniang sedang kurang bagus.

Haitami sangat berterima kasih karena hampir seperempat abad hanya Tono yang memberikan bantuan riil tanpa embel-embel apa pun kepada dirinya dan pasukan kecilnya untuk menuangkan kreasi sekaligus menjaga kearifan lokal lewat ukiran kayu ulin serta sungkai. ’’Luar biasa jasa dia bagi kami,’’ tegas Haitami.

’Kalau memang pemerintah daerah tidak mau membantu, biar saya bakar saja semua kerajinan serta alatnya. Biarlah riwayat Baniang terkubur selamanya.’’

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News