Kisah Derita Warga Korban Lapindo, Berupaya Bangkit dari Titik Nol

Kisah Derita Warga Korban Lapindo, Berupaya Bangkit dari Titik Nol
Isa dan suami, Uut Faisal, dengan gerobak bakso mereka di arena istighotsah peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo Jumat (29/5). FotoL Nur Frizal/Jawa Pos

PEREMPUAN berjilbab itu terlihat terampil saat menyajikan semangkuk bakso untuk pembeli. Tangannya begitu cekatan mengambil bahan-bahan yang diperlukan.
-------------
Laporan Akhmad Matin, Sidoarjo
------------
Sambil menyajikan bakso, sesekali dia menyimak dan mengomentari isi ceramah dalam acara istighotsah peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo di Titik 25 Tanggul Lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jumat (29/5).

Ya, perempuan penjual bakso itu bernama Samariyati, 27. Dia adalah salah seorang korban ganasnya lumpur Lapindo yang kini ’’sukses’’ bangkit dari keterpurukan hidup.

Bagi Isa, begitu sapaan Samariyati, peristiwa 29 Mei 2006 tersebut tidak bisa dilupakan. Sebab, akibat ’’kecelakaan kerja’’ itu, seluruh harta benda keluarganya tidak bersisa. Rumahnya di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, yang tidak jauh dari titik semburan tenggelam tertimbun lumpur panas. Tidak banyak yang bisa diselamatkan.

Maka, sejak itu, perjuangan berat pun harus dijalani Isa bersama orang tuanya, Sarmuji dan Biayati. Mereka harus mulai dari nol lagi. Sebab, selain tempat tinggal yang rata dengan permukaan lumpur, usaha jualan bakso sang ayah, Sarmuji, juga hilang. Tempat mangkal Sarmuji di depan pabrik di Desa Jatirejo ikut tertelan bumi. ’’Saat itu, keluarga saya benar-benar susah,’’ cerita Isa.

Dia masih ingat bagaimana luntang-lantungnya dirinya bersama keluarga ketika awal-awal bencana itu. Enam bulan pertama, Isa terpaksa tinggal di tempat pengungsian korban lumpur di Pasar Porong dengan rasa putus asa.

Padahal, waktu itu dia baru menyelesaikan ujian nasional SMA dan hendak memasuki bangku kuliah. Dia pun sempat berpikir untuk tidak meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Pasalnya, musibah itu seolah telah merenggut masa depannya.

Tetapi, sang bapak, Sarmuji, tetap ingin Isa menempuh pendidikan lebih tinggi. Dia percaya, dari musibah itu, keluarganya akan mendapat banyak hikmah dan pelajaran. ’’Kata bapak, biar bapak saja yang jadi orang bodoh. Saya tidak boleh begitu,’’ kenang perempuan kelahiran Sidoarjo, 26 April 1988, tersebut.

Meski Sarmuji terus menyemangati, Isa tetap ragu. Kondisi keluarga yang tengah dilanda musibah menjadi pertimbangan utama. Apalagi keluarganya sudah tidak punya apa-apa, kecuali pakaian di badan. Tetapi, tetap saja, semangat bapaknya ternyata lebih kuat dan akhirnya mampu mengalahkan keraguan Isa.

PEREMPUAN berjilbab itu terlihat terampil saat menyajikan semangkuk bakso untuk pembeli. Tangannya begitu cekatan mengambil bahan-bahan yang diperlukan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News