Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan
Sabar untuk Sulitnya Menerima Kekalahan

jpnn.com - SAYA harus di New York tanggal 29-30 Mei lalu. Imam Shamsi Ali minta saya berbicara di forum Islam di Indonesia. Tempatnya di gedung PBB, New York.

Imam besar masjid New York asal Indonesia itu memang pemrakarsanya. Dubes Indonesia untuk PBB Desra Percaya sebagai penyelenggaranya.

Saya berangkat dari Evansville, di Negara Bagian Indiana, tempat saya belajar selama tiga bulan terakhir, naik mobil. Lebih dari 1.500 km. Itu karena harus memutar lewat selatan. Mengunjungi tempat-tempat yang terkait dengan yang saya pelajari. Kami, saya dan guru saya, John Mohn, seorang wartawan senior di AS, bergantian pegang kemudi.

Sebelas negara bagian harus saya lewati: Kentucky, Tennessee, Mississippi, Alabama, Georgia, South Carolina, North Carolina, Virginia, Delaware, New Jersey, dan Pennsylvania. Singgah di kota-kota besarnya, desa-desanya, dan pedalamannya: Memphis, Tupelo, Birmingham, Atlanta, Augusta, Columbia, Charlotte, Greensboro, Appomattox, Durham, Richmond, Dover, Lewes, Atlantic City, Ocean City, dan Philadelphia. Juga mampir ke beberapa universitasnya.

Suatu saat, saya harus isi bensin di sebuah permukiman. Saya lihat ada puluhan rumah bagus di sekitar pompa bensin itu. ”Apakah ini sebuah desa?,” tanya saya. ”Di struktur pemerintahan Amerika tidak dikenal kata desa (village),” ujar John. ”Paling kecil adalah town (kota kecil),” tambahnya. Yakni, sebuah ”desa” yang penduduknya kadang kurang dari 2.000 jiwa.

Tapi tempat saya berhenti itu, Birdsnest, di Negara Bagian Virginia, ternyata sebuah permukiman yang tidak terikat dengan satu bentuk administrasi pemerintahan daerah. Bukan RT, bukan RW, bukan kelurahan, bukan kota. Sebutannya hanya ”un-incorporated community”. Alias permukiman yang tidak terikat organisasi pemerintahan.

Warga di Birdsnest tidak mau menjadi bagian kota mana pun. Mereka merasa tidak perlu punya organisasi pemerintahan. Juga tidak punya ketua kelompok atau koordinator. Mereka merasa bisa mengurus diri masing-masing. Memang pernah ada kantor pos di situ, tapi sudah lama tutup. Mereka tidak merasa perlu ikut pilkada. Juga merasa tidak perlu memiliki wakil di DPRD.

Ternyata banyak sekali kelompok masyarakat di AS yang statusnya seperti itu. Mereka merasa di situlah inti kebebasan dan inti kemerdekaan. Itulah filsafat demokrasi terdalam yang dianut Amerika. Mereka berpendapat, kebebasan yang mendasarlah yang bisa membuat AS menjadi negara superpower seperti sekarang.

SAYA harus di New York tanggal 29-30 Mei lalu. Imam Shamsi Ali minta saya berbicara di forum Islam di Indonesia. Tempatnya di gedung PBB, New York.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News