Merindukan Al Ahmadi dari Zaman Samsung

Oleh Dahlan Iskan

Merindukan Al Ahmadi dari Zaman Samsung
Merindukan Al Ahmadi dari Zaman Samsung

jpnn.com - DALAM tiga hari saja saya sudah berbicara kepada lebih 5.000 anak muda yang tertarik memulai bisnis: di IPB Bogor pekan lalu, di ITS Surabaya hari Sabtu (5/12), dan Minggu kemarin (6/12) di Batam. Kian banyak saja mahasiswa, sambil terus kuliah, yang sudah terjun ke bisnis. Kecil-kecilan. Jenis bisnisnya pun begitu beraneka. Mulai membuat virgin oil dari kelapa, goreng bawang, keripik bayam, sampai teknologi tinggi.

Dengan demikian, begitu mereka nanti lulus dari perguruan tinggi, dua hal mereka dapat: kesarjanaan secara ilmu dan kematangan secara kejiwaan. Mereka memiliki nilai plus karena sudah mengalami rasanya ditipu, bertengkar, bangkrut kecil-kecilan, dan gagal membuat produk yang disukai konsumen.

Di antara puluhan mahasiswa yang saya minta naik panggung, lebih dari separo berhasil memulai usaha tanpa modal. Hampir 100 persen pernah ditipu, bahkan ada yang berkali-kali. Yang membanggakan, tidak ada yang setelah tertipu merasa kapok untuk bangkit lagi. Doktrin ”calon pengusaha sukses adalah yang kalau jatuh selalu berani bangkit” rupanya sudah diyakini secara luas.

Di Jawa Pos Group sendiri ada yang mendirikan institut bisnis: lembaga setengah formal untuk menggairahkan munculnya pengusaha muda dan pengusaha pemula. Entrepreneur School. Dibuat Batam Pos di Batam, tapi wilayah kerjanya se-Sumatera. Mulai kursus-kursus, kuliah umum, monitoring, konsultasi bisnis, sampai penghargaan bisnis bagi mahasiswa dan pemula yang sukses.

”Pak, dua tahun lalu saya berjanji kepada Bapak tidak akan bertemu Bapak kalau omzet saya belum naik,” ujar seorang perempuan muda yang mendekati kursi saya di Batam kemarin. Dia mulai usaha keripik singkong. ”Sudah naik berapa?” tanya saya. ”Waktu itu satu hari saya hanya berhasil menjual 10 kilogram,” katanya. ”Sekarang sudah 80 kilogram.”

Saya ingin menciumnya untuk menunjukkan rasa haru saya. Tapi, yang antre ingin melapor (dan minta foto bersama) terlalu banyak. Ada yang mengadu mendapat fitnah. Dia jualan es puter. ”Es saya diisukan mengandung bahan tidak halal,” ungkapnya. ”Saya menangis,” tambahnya. Itu empat bulan lalu. Dia minta saran apa yang harus dia lakukan. ”Apakah sekarang jualan es Anda merosot?” tanya saya. ”Tidak, Pak. Justru tambah laris,” katanya.

Maka saya pun tidak perlu memberi nasihat. Saya kemukakan bahwa orang itu, untuk bisa lebih maju, kadang harus difitnah dulu. Saya yakin, sejak menerima fitnah itu, hatinya sakit. Dendam. Berontak. Lalu kerja lebih keras. Cari akal lebih kreatif.

Seorang ibu muda dari Padang naik panggung dengan menggendong bayinya yang kira-kira berumur enam bulan. Dia hampir menangis saat curhat betapa sakit hatinya ketika keluarganya menghina-hinanya sebagai ibu yang kurang bermoral. Gara-garanya, dia terus jualan rendang saat bayinya baru berumur satu bulan. Saya ambil bayi itu dari gendongannya. Saya gendong dia. Agar ibunya bisa memegang mik dengan baik. Untuk berbagi curhat kepada anak muda yang memenuhi ballroom hotel terbaik di Batam itu.

DALAM tiga hari saja saya sudah berbicara kepada lebih 5.000 anak muda yang tertarik memulai bisnis: di IPB Bogor pekan lalu, di ITS Surabaya hari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News