Astaga, Sekolah Pungut 1,5 juta dari Peserta UN

Astaga, Sekolah Pungut 1,5 juta dari Peserta UN
Ilustrasi UN. Foto: dok.JPNN

SURABAYA - SMA dan SMK swasta di Surabaya tidak bisa bernapas lega dengan pelaksanaan ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Berbeda dengan sekolah negeri yang sudah dipersiapkan cukup baik oleh pemerintah. Persiapan mereka tampak begitu compang-camping. Ada yang tidak memiliki komputer dan server yang cukup, ada yang tidak punya gedung, bahkan ada yang terpaksa nebeng karena tidak memiliki izin mengadakan UNBK.

Dengan diwajibkannya UNBK oleh Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya, otomatis sekolah swasta harus melaksanakan unas dengan komputer. Sekolah pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk pelaksanaan UNBK tersebut.

Bukan hanya pengeluaran untuk anggaran UNBK intern, sekolah juga harus mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan jumlah siswa yang disetorkan ke masing-masing subrayon. Setoran tersebut dianggap pungutan liar karena tidak terlisensi oleh dispendik.

Salah satunya terjadi di subrayon 10 yang menaungi 9 SMK, baik negeri maupun swasta. Dalam perincian anggaran UNBK subrayon 10, setiap sekolah menyetorkan uang berbeda-beda. Besarannya mulai Rp 2 juta sampai Rp 74 juta. Jumlah tersebut disesuaikan dengan jumlah peserta UNBK di masing-masing sekolah. Semakin banyak siswa, semakin besar pula uang yang harus digelontorkan oleh sekolah.

Perincian anggaran terbagi menjadi tiga golongan. Yakni, persiapan, pelaksanaan sampai hasil, dan pembubaran panitia. Salah satunya, pada pelaksanaan dan hasil, terdapat item biaya pelaporan ke dinas dari subrayon senilai Rp 3,6 juta selama empat hari pelaksanaan UNBK. Secara total, anggaran yang dibutuhkan di subrayon 10 adalah Rp 194 juta. Dengan begitu, anggaran yang ditanggung setiap siswa Rp 122 ribu.

Misalnya, yang diutarakan Kepala SMK Dr Soetomo Juliantono Hadi. Juliantono mengaku mendapat tarikan dari Subrayon 10 untuk anggaran UNBK. "Per siswa membayar Rp 122.000. Total anggaran mencapai Rp 60 juta," jelasnya. Kebutuhan tersebut, menurut dia, jelas membebani pihak sekolah.

Juliantono mengaku, tarikan untuk pelaksanaan ujian nasional itu sudah berlangsung cukup lama. Namun, dia mengaku keberatan karena nominal tersebut dianggap terlampau besar. Tahun lalu SMK Dr Soetomo hanya dikenai biaya Rp 84.000 per siswa. "Tapi, kenapa saat ini malah lebih mahal, padahal kami menyelenggarakan UNBK tidak lagi menggunakan kertas," imbuhnya.

"Hingga kini kami belum menyetorkan uang tersebut karena memang belum ada uangnya," jelas Juliantono. Hal tersebut terjadi lantaran sekolahnya juga tidak menerima bopda dan BOS karena masalah konflik yayasan. "Jika sebelumnya kami membayar dengan biaya bantuan pemerintah, kini kami tak bisa," ungkapnya.

Sementara itu, salah seorang siswa SMK Dian -nama samaran- mengaku pihak sekolah menarik biaya Rp 1,5 juta per siswa kelas XII. "Katanya, tahun lalu juga ada tarikan segitu," ujar Dian. Namun, dia tidak terlalu mengerti pungutan tersebut digunakan untuk apa saja. "Pokoknya, sebelum ujian ini, masing-masing siswa harus membayar Rp 1,5 juta. Katanya buat biaya ujian. Mulai ujian praktik sampai ujian sekolah," terangnya. Dia melanjutkan, siswa dapat mengangsurnya sebelum lulus. "Saya baru melunasi 40 persen. Mudah-mudahan dapat lunas secepatnya," ungkapnya.

Informasi di lapangan, bukan hanya SMK swasta yang dipungut biaya UNBK. Melainkan juga SMA swasta. Beberapa sekolah yang dikonfirmasi Jawa Pos tidak berani mengatakan ada pungutan. Mereka mengelak diwawancarai.

Sementara itu, Kepala Dispendik Surabaya Ikhsan mengelak adanya pungutan kepada sekolah-sekolah selama proses UNBK. "Tidak ada dan tidak benar. Semuanya dilaksanakan secara gratis," ungkapnya. Apabila memang ditemukan, Ikhsan menegaskan siap menelusuri subrayon yang melakukan pungutan dalam penyelenggaraan UNBK tersebut. (bri/elo/puj/ara/c6/c15/end/flo/jpnn)

 



Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News