Butuh Cara Cerdas Penyebar Islam Hadapi Budaya Lokal

Butuh Cara Cerdas Penyebar Islam Hadapi Budaya Lokal
Masjid Sigi Heku, Ternate. FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - Jauh sebelum masyarakat Ternate mengenal Islam, ajaran-ajaran bernafaskan Islam sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meleburnya Islam dalam keseharian masyarakat Ternate pun terbilang unik. Untuk mengubah kebiasaan yang semula dipandang ‘sirik’, butuh cara cerdas sendiri dari para penyebar Islam.

BADRUN AHMAD-GUNAWAN TIDORE-MASLAN ADJID-MAHFUD H HUSEN, Ternate

Sebelum Islam masuk ke Ternate, masyarakat Ternate telah memiliki agama lokal. Di dalam kepercayaan lokal, berkembang keyakinan bahwa pohon, gua, dan gunung memiliki kekuatan. Karena itu, warga perlu memberikan sesajian.

“Orang biasanya mengantar sesajian ke goa dan pohon sebagai persembahan. Sembari memberi sesaji, mereka membaca mantra, doa-doa, dan bacaan lainnya,” ungkap sejarawan Umar Hi Rajak seperti dilansir Malut Post (JPNN Group).

Kepercayaan semacam ini disebut animisme dan dinamisme. Animisme merupakan kepercyaan terhadap mahluk halus dan roh. Dinamisme merupakan pemujaan terhadap roh tersebut.

Datangnya Islam di kemudian hari tak lantas menghilangkan tradisi ini. Sebaliknya, terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan budaya Islam.

“Doa-doa mereka diganti, diawali dengan bacaan bismillah. Sebagian diganti dengan bacaan dalam Alquran. Jadi tidak langsung diubah, tetapi menggunakan pendekatan kearifan lokal,” paparnya.

Kegiatan membaca doa bersama ini lama kelamaan berkembang menjadi tahlil. Keseluruhan doanya kemudian menggunakan bacaan ayat Alquran. Tahlil biasa dilakukan untuk memperingati hari-hari khusus, misalnya pernikahan, kematian, dan syukuran lainnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News