Wak Ong, Jalan Panjang di Kesunyian

Melawan untuk Kebenaran

Wak Ong, Jalan Panjang di Kesunyian
Wak Ong. Foto: Dok. Hujan Tarigan.

jpnn.com - PRIA itu sudah tak benar-benar muda lagi. Pendengarannya pun sudah tak berfungsi. Namun untuk ukuran pria setengah abad, lelaki itu masih dapat dikatakan gagah. Wak Ong hanyalah seorang pedagang ayam yang mewarisi keberanian luar biasa.

Hujan Tarigan - Medanbagus/RMOL (Jawa Pos Grup)

Sehari-hari, lelaki 54 tahun itu hidup dalam kesunyian. Dalam kesunyian itu, demi menafkahi hidup keluarga, dia menjalankan bisnis potong ayam yang diwarisi ayahnya, Bendaharo Katung.

Cacat fisik yang diderita Wak Ong bukan penghalang bagi keberaniannya. Baik keberaniannya meneruskan usaha keluarga, ataupun keberaniannya dalam hal menegakkan kebenaran.

Lelaki yang sempat menjadi aktifis mahasiswa di Jakarta pada masanya ini, setia mengobarkan perlawanan kepada setiap bentuk kejahatan. Hal itu pula lah, yang mengantarkannya kepada ketulian 15 tahun silam.

15 Tahun Silam...

Wak Ong pulang kampung dengan perasaan rindu dendam. Tak lama setelah kejatuhan rezim Soeharto, Wak Ong memutuskan berhenti berpetualang. Lelaki yang telah mencecahkan kaki ke hampir setiap tempat di Indonesia ini akhirnya menghentikan perantauannya dan memilih menetap untuk meneruskan usaha keluarga yang diwarisi Bendaharo Katung di Binjai. 

Bendaharo Katung bukan orang biasa. Pada masanya, ayah dari Wak Ong ini pun cukup dikenal. Sebagai generasi awal di Kampung Bonjol, Bendaharo Katung disegani sebagai orang yang dituakan. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News