7 Poin Kegagalan Politik Identitas Dalam Pertarungan Elektoral Pilpres 2019

Oleh: Girindra Sandino

7 Poin Kegagalan Politik Identitas Dalam Pertarungan Elektoral Pilpres 2019
Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies, Girindra Sandino. Foto: Ist for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Samuel Huntington mengatakan bahwa awal abad 21 adalah babak baru dari perbenturan peradaban, The Clash of Civilization, tema yang kemudian menjadi judul bukunya.

Menurutnya, fenomena Perbenturan Peradaban ini dengan mengurainya dalam beberapa ideologi besar di dunia ini: Peradaban Barat, Amerika Latin, Ortodox, Dunia Timur, Dunia Islam, Peradaban Afrika Sub-Sahara, dan beberapa jenis “Peradaban” dan “Dunia” menurut kategorisasi yang dibuat Huntington. Sehingga menurutnya, abad 21 akan memunculkan kembali kebanggaan hingga fanatisme beridentitas dalam politik.

Tragedi Wall Trade Cebter 11 September 2001 merupakan penghinaan dan penghancuran terhadap “identitas Amerika”, yang kemudian untuk memulihkannya kembali dilakukan dengan jalan aksi kemiliteran atau perang, dengan musuh bebuyutannya, yakni Irak. Jika dianalisa, hal ini membawa kembali ingatan pada wacana konflik peradaban dari seorang intelektual bernama Samuel Huntington (1996:2000), yang menciptakan masing-masing peradaban, yang mana mereka merasa eksistensi identitasnya ditantang untuk berkonflik dengan jalur politik identitas.

Masih menurut Hantington (2000) ”Identitas-identitas yang sebelumnya memiliki keserberagaman dan hubungan kausal menjadi terfokus dan mapan, konflik-konflik komunal biasanya disebut perang identitas.

Memang teori Samuel Huntington tersebut telah menjadi gelombang dan momok yang nyata kebangkitan politik identitas. Sebut saja, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad, yang memenangkan pemilu dengan mengandalkan sentiment Ras dan pribumi. Jair Bolsonaro, politikus sayap kanan Brazil yang memenangkan pemilu, Rodrigo Duterte yang kerap menyatakan pendapat-pendapat controversial dan keresahan berhasil menang dalam pemilu Filiphina. Kemudian Giuseppe Conte (Five stars), gerakan populisme yang meraih kemenangan pemilu Italia, 2018 lalu.

Namun demikian, kemenangan yang diraih oleh beberapa politikus yang disebut di atas, tidak terlepas dari politik identitas, populisme yang fanatik, hoaks yang masif, fitnah, menebar ketakutan, pesimisme, saling memaki, menebar kebencian dan lain-lain. Hal ini tentu mirip dengan strategi yang dijalankan oleh kubu Prabowo-Sandi di Pemilu 2019 ini.

Namun demikian, menarik untuk diperhatikan mengapa politik identitas dalam Pemilu/Pilpres 2019 tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas pasangan Capres-Cawappres Prabowo-Sandi. Ada beberapa poin yang dapat dianalisa dan diungkapkan, mengapa strategi tersebut tidak berhasil dalam kontestasi demokrasi di Indonesia, bahkan dapat disebut GAGAL TOTAL, berikut ini poin-poin penjabarannya:

Pertama, karena Indonesia memiliki social capital yang luar biasa. Berbeda dengan negara-negara lain. Modal sosial itu antara lain adalah banyaknya ormas-ormas keagamaan yang memiliki basis massa dan selalu mengkampanyekan pentingnya rasa persatuan. Sebut saja Ormas keagamaan Seperti, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dengan jumlah warganya 91,2 juta jiwa telah berhasil mengharmonisasikan hubungan agama dan negara. Jargon hubbul wathon minal iman (nasionalisme bagian dari iman), adalah diantara kuncinya.

Menarik untuk diperhatikan mengapa politik identitas dalam Pemilu/Pilpres 2019 tidak berpengaruh atau berkorelasi dengan peningkatan elektabilitas pasangan Capres-Cawappres Prabowo-Sandi. Ada beberapa poin yang dapat dianalisa dan diungkapkan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News