Alasan Remaja Mudah Emosional

Alasan Remaja Mudah Emosional
PERLU SOPAN: Belasan remaja yang diangkut Satpol PP Kotim lantaran dianggap meresahkan warga. FOTO: AMIRUDIN/RADAR SAMPIT/JPNN

jpnn.com - Remaja sering dikaitkan dengan masa pencarian jati diri. Mereka yang berada di golongan usia ini akan melakukan eksplorasi terhadap lingkungan sekitar dengan tingkat yang lebih jauh dan kompleks. Akibatnya, para remaja lebih mudah mengalami gejolak emosional di dalam dirinya.

Emosi pada remaja yang masih labil dan sering kali dipengaruhi mood membuat mereka rentan mengalami depresi. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya terus-terusan merasa sedih hingga munculnya rasa ingin bunuh diri.

“Di Indonesia, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia Yogyakarta, gangguan depresi berat dialami 3 persen anak usia sekolah, dan 6 persen usia remaja. Jika Anda orang tua yang memiliki anak berusia remaja, tidak ada salahnya untuk selalu mengikuti dan waspada terhadap perilaku mereka,” kata dr. Nadia Octavia dari KlikDokter.

Sehubungan dengan itu, teknologi pencitraan mutakhir mengungkapkan bahwa otak remaja memiliki banyak plastisitas yang berarti dapat berubah, beradaptasi, dan merespons lingkungan sekitar sesuai keadaan. Oleh karena itu, lewat peningkatan konektivitas antar wilayak otak, perilaku seorang remaja dapat menyesuaikan dengan kondisi yang sedang dialaminya.

Hal itu tak luput ketika seorang remaja mengalami gejolak emosional, yang sering diluapkan dalam bentuk sikap temperamental yang naik-turun. Bagaimana dunia medis menjelaskan fenomena ini?

Kompleksitas emosi dalam diri remaja

Sistem emosional berada pada struktur otak limbik, sedangkan sistem logis berkutat di daerah frontal. Sistem limbik bertugas mengatur emosi, dorongan, penghargaan, dan motivasi. Sementara itu, sistem frontal terkait dengan pengambilan keputusan, pengendalian impuls dan lain-lain. Kedua sistem ini memiliki cara kerjanya masing-masing.

Pada segala usia, kedua struktur tersebut bakal selalu berhubungan dengan tugas dan perannya masing-masing. Namun, saat fase remaja, faktor hormonal dan perkembangan otak yang menjadi lebih matang terkadang mesti “mengorbankan” fungsi dari bagian-bagian otak tersebut.

Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya terus-terusan merasa sedih hingga munculnya rasa ingin bunuh diri.

Sumber klikdokter

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News