Belum Merdeka, Jika Masih Banyak yang Miskin

Belum Merdeka, Jika Masih Banyak yang Miskin
SULIT - Di Tarakan, Kalimantan, dua anak kecil pun ikut menjadi pengumpul pasir dan batu kerikil, demi membantu orangtua mereka mencari sesuap nasi. Foto: Anthon Joy/Radar Tarakan.
Hidup adalah pilihan, karenanya ia berarti perjuangan. Mereka, para buruh atau pekerja kasar, menjalani hidup untuk "memerdekakan" keluarga dari ketidakberdayaan secara ekonomi. Tak heran, simpulan pendapat mereka terkait Hari Kemerdekaan RI ke-65, bisa dijabarkan dengan kalimat: jika masih ada kemiskinan dan pengangguran, kita belum merdeka.

Laporan ADIYANSYAH LUBIS, Padangpariaman

KARENA
di rantau susah mendapat pekerjaan, Buyung pulang kampung. Namun di kampung, sebagaimana di perantauan, jangankan bekerja kantoran, jadi kuli saja sulit ia dapatkan. Pasalnya, ia hanya tamat sekolah dasar (SD). Masih mujur Buyung, akhirnya bekerja sebagai penambang atau pengayak bahan galian C jenis sirtukil (pasir dan batu kerikil) di aliran Sungai Batang Anai, Desa Koto Buruak, Korong Ganting, Nagari Lubuk Alung, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padangpariaman.

Setiap hari, Buyung harus mengayak pasir di tepi sungai yang tidak jauh dari rumahnya. Kendati bukan kerja ringan, Buyung harus melakoni hidup sebagai pengayak pasir. Karena, dari situlah ia bisa mendapatkan uang untuk anak dan bininya. Menurut Buyung, untuk mendapatkan satu truk roda enam, ia menghabiskan waktu seharian. Uang yang bakal didapat adalah Rp 180-200 ribuan. Uang itu harus dikeluarkan Rp 10 ribu untuk pemilik tanah per satu truk. Sisanya, dari harga satu truk itulah nanti yang akan menjadi upah bagi Buyung. Itu jika ia mendapatkan satu truk sehari. Jika tidak? Tentulah lain peruntungannya.

Hidup adalah pilihan, karenanya ia berarti perjuangan. Mereka, para buruh atau pekerja kasar, menjalani hidup untuk "memerdekakan" keluarga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News