Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat

Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat
Saparuddin saat berada di kebun sawit miliknya. Foto: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN

"Gaji gede, tidak bisa menabung. Susah ketemu keluarga. Akhirnya tahun kedua saya berhenti di kapal," ungkapnya.

Aval berhenti kala itu sekitar tahun 2013. Sebelum di atas kapal, dia juga pernah bekerja di daratan, tahun 2000-an. Masih perusahaan batu bara.

Berhenti bekerja di kapal dengan gaji besar adalah keputusan berisiko. Apalagi dia punya kewajiban menafkahi keluarganya.

"Anak saya ada dua, masih sekolah. Tapi itu harus saya lakukan. Uang pesangon saya belikan tanah di kampung," kenang pria yang masih terlihat muda itu.

Anak tertua Aval, Eka. Sekarang sudah SMA. Yang paling kecil masih SD, namanya Ita. Sementara istrinya bernama Elsi.

Saat balik ke kampung, dia langsung menggarap kebunnya. "Waktu mau berhenti kerja, saya memang disarankan harus punya tanah. Kata paman saya, ada bibit sawit, juga lombok," ceritanya.

Hidup Aval berubah drastis. Yang biasanya beli rokok yang mahal, diganti yang paling murah. "Anak istri, saya bawa semua ke kampung. Meringankan beban," ucapnya.

Kala itu Aval menanami empat hektare tanah dengan kelapa sawit. Beberapa diselingi tanaman cabai. Dia bekerja sendiri. "Orang yang punya modal, menanamnya cepat. Saya sehari paling beberapa lubang bisa ditanam," ujarnya.

Aval dulu bekerja di kapal pengangkut batu bara dengan gaji besar, kini memilih pulang kampung dan berkebun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News