Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat

Enak Begini, Dekat Keluarga, Jauh dari Maksiat
Saparuddin saat berada di kebun sawit miliknya. Foto: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN

Kebun sawit Aval tentu saja belum bisa menghasilkan apapun. Lantas, dari mana dirinya mendapatkan uang? Jawabnya, cabai. Dia memanen tanaman tersebut setiap tiga bulan.

"Kalau dipikir, sama saja dengan saat saya kerja di kapal. Masih bisa makan dan merokok. Bedanya, handphone sekarang tak ada internet. Beli rokok juga paling murah," tuturnya.

Aval juga membantu mengurus lahan-lahan keluarganya yang lain. Hasilnya bisa membeli beras dan kebutuhan hidup lainnya. Termasuk menyekolahkan anak-anaknya.

"Kadang saya bantu bersihkan lahan keluarga, dikasih beberapa ratus ribu. Ternyata, ada saja rezekinya buat makan," sebutnya.

Sekarang usia sawit Aval memasuki empat tahun. Idealnya sudah bisa panen. Tapi lantaran tak pakai pupuk, buahnya lambat besar.

Meski begitu, dia sudah bisa bernapas lebih lapang. Karena, lahan lain yang juga tidak dipupuk pada tahun kelima sudah panen.

Menurut Aval, dalam satu hektare ada sekitar 130 pohon sawit. "Kalau nanti satu pohon saja panen 10 kilogram kali seratus pohon saja, kali harga sawit sekilo Rp1.300, berarti satu hektare menghasilkan Rp1,3 juta," ucapnya tersenyum.

Hitungan itu jika tiap pohon menghasilkan 10 kilogram. Kalau lebih, hasilnya tentu juga bakal jauh lebih besar.

Aval dulu bekerja di kapal pengangkut batu bara dengan gaji besar, kini memilih pulang kampung dan berkebun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News