Harga BBM: Pemerintah Hadapi Tiga Tekanan Sekaligus

Harga BBM: Pemerintah Hadapi Tiga Tekanan Sekaligus
SPBU. Foto: dok.JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM jenis premium dari Rp 6.650 menjadi Rp 7.000 per liter, hanya selang satu jam setelah pengumuman awal, mendapat sorotan banyak kalangan.

Ketidakjelasan pemerintah dalam mengomunikasikan kebijakan harga BBM ini bisa berpengaruh buruk ke pasar. Pelaku pasar dapat melihat pemerintah tidak memiliki koordinasi dan arah kebijakan yang jelas.

Padahal, di tengah ketidakpastian ekonomi global, pasar perlu melihat bahwa pemerintah punya mekanisme yang konsisten.

”Apalagi ini kan terjadi di tengah perhelatan pertemuan tahunan IMF-World Bank Group. Banyak ekonom, pelaku pasar, investor, dan media-media dari luar negeri. Ini sangat tidak pas,” kata Bhima Yudistira, ekonom Indef, seperti diberitakan Jawa Pos.

Menurut dia, pemerintah saat ini menghadapi tiga tekanan. Yaitu, harga minyak dunia yang terus naik hingga mencapai USD 80 per barel, rupiah yang melemah akibat defisit neraca migas, dan keuangan PT Pertamina yang merugi.

Jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM, konsekuensinya adalah neraca migas akan mengalami defisit yang melebar. Pada Januari–Agustus 2018, defisit neraca migas mencapai USD 8,3 miliar.

Hal itu akan mendorong rupiah melemah dan berpotensi menyentuh level Rp 15.600 hingga akhir tahun. Sebab, devisa akan tersedot lebih besar ke sektor migas. Kemudian, Pertamina mempunyai potential loss yang lebih besar, yakni Rp 20 triliun. Sebab, setiap harga minyak dunia naik USD 1, Pertamina rugi Rp 2,8 triliun.

Jika harga BBM tak disesuaikan, keuangan Pertamina akan terbebani. Jika keuangan Pertamina tidak menguntungkan, Pertamina akan maju-mundur dalam melakukan lifting minyak dari dalam negeri. Akibatnya, kebutuhan BBM akan dipenuhi impor yang semakin besar.

Terkait dengan kebijakan harga BBM, pemerintah saat ini menghadapi tiga tekanan sekaligus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News