HNW: Santri Harus Setia Pada Tiga Ibu

HNW: Santri Harus Setia Pada Tiga Ibu
Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid saat menerima perwakilan ulama muda, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (Unida), Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Senin (16/12). Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid menegaskan keberadaan pesantren di Indonesia ditujukan agar warganya berkhidmat pada negara. Bukan malah sebaliknya, berkhianat dengan negara. Oleh karena itu, seluruh santri harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar bisa berperan di segala aspek kehidupan.

Menurut Hidayat, peran serta warga pesantren terhadap negara sudah dicontohkan oleh para ulama dalam ikut mendirikan dan membangun bangsa Indonesia. Sebagi contoh, H. Mutahar seorang habaib yang menciptakan lagu syukur dan hari merdeka. Lagu syukur dipopulerkan pada Januari 1945, untuk memberikan peringatan kepada bangsa Indonesia agar mensyukuri, kemerdekaan yang saat itu masih diperjuangkan.

Sedangkan hari merdeka dipopulerkan pada 1946, untuk memeriahkan satu tahun kemerdekaan Indonesia.

“Di pondok dikenal ada tiga ibu. Yang pertama adalah ibu kandung, kedua Ibu Pondok dan ketiga adalah Ibu pertiwi Indonesia. Bagi semua santri, ketiga ibu itu senantiasa dipatuhi, tidak ada satu pun yang boleh dikhianati. Para santri wajib berkhidmat dengan tulus ikhlas kepada ketiga ibunya,” kata Hidayat Nur Wahid pada Senin (16/12) di hadapan puluhan ulama muda, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (Unida), Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Pernyataan itu dikemukakan Hidayat Nur Wahid, saat menerima puluhan ulama muda, peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) ke-13, Universitas Darussalam (Unida), Gontor, Ponorogo Jawa Timur. Acara tersebut berlangsung di Ruang GBHN, Komplek Parlemen Jakarta, Senin (16/12). Ikut hadir pada pertemuan tersebut Nurhadi Ihsan, MIRKH (Direktur UNIDA Kampus Putri), Hasib Amrullah, M.Ud (Pembimbing PKU), dan Adib Fuadi Nuriz, M.Phil. (Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UNIDA)

Selain H. Mutahar, kata Hidayat, para ulama lain juga berkiprah dalam menyelamatkan bangsa Indonesia. Pada 17 Agustus 1945 sore hari selepas proklamasi misalnya, datang utusan dari Indonesia Timur yang menyatakan keberatan terhadap sila pertama Piagam Jakarta. Menurut mereka, tujuh kata pada sila tersebut tidak menghargai komunitas lain selain masyarakat muslim.

Mendengar keberatan tersebut, KH. Wahid Hasyim, beserta Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhamad Hasan dan Mr. Kasman Singodimejo melakukan rapat kilat. Hasilnya, mereka memutuskan menerima keberatan tersebut. Dan mengubah sila pertama Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti bunyi sila pertama Pancasila saat ini.

Selain nama-nama, tersebut menurut Hidayat masih banyak lagi ulama yang telah berbakti kepada bangsa Indonesia. Seperti Panglima Besar Soedirman dia adalah seorang ulama, yang mendirikan cikal bakal TNI. Soedirman-lah orang yang mengusulkan kepada Soekarno untuk meminta bantuan para kiai, dalam menghadapi kedatangan Belanda, karena saat itu jumlah tentara masih sangat terbatas.

Menurut Hidayat, peran warga pesantren terhadap negara sudah dicontohkan oleh para ulama dalam ikut mendirikan dan membangun bangsa Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News