Infrastruktur dan Fantastika Jokowi

Infrastruktur dan Fantastika Jokowi
Pegiat Politik DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Anton Doni Dihen. Foto: Ist.

Dia pasti merupakan variabel dalam kemajuan ekonomi dan sosial. Dia pasti sungguh-sungguh merupakan variabel daya saing yang diamanatkan sejumlah lembaga survei, dan kita harus “membelinya” dengan segala konsekuensi anggaran yang tak terelakkan.

Sebagai orang awam, saya juga hanya bisa memiliki referensi perbandingan konkret seperti jalan tol Jakarta-Bogor. Pasti pembangunannya ketika itu membutuhkan anggaran yang relatif besar, dipertanyakan kegunaannya, digugat impaknya pada para usahawan mikro dan kecil yang mencari hidup di jalur lalulintas Jalan Raya Bogor, dan dipertanyakan waktu pengembalian modalnya.

Tetapi bisa kita banyangkan hari ini kalau Jalan Tol Jabodetabek ini tidak dibangun. Dan walaupun nilai keekonomian pada saat awal (pengembalian modal) tidak kelihatan, waktu hidup jalan tol ini ternyata sangat panjang, dan waktu panennya juga panjang sedemikian rupa sehingga, kita merasa aneh ketika tarifnya tidak lagi naik.

Jalan pikiran sederhana saya juga membayangkan akan seperti itu pengaruh jalan tol Trans Sumatera. Tol sepanjang 2.700 km, yang hadir di suatu pulau yang pernah dijuluki sebagai “pulau emas”, dengan luas 473.481 km2, dengan penduduk 57.940.351 orang, dengan 4 dari 5 propinsi penghasil kelapa sawit terbesar (Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi) di negara penghasil sawit terbesar di dunia, dengan destinasi wisata unggul di beberapa propinsi seperti Sumatera Barat, tentu akan memproduksi kehebatan melampaui apa yang kita bayangkan hari ini.

Berbasis produk primer kelapa sawit, ekonomi Sumatera pasti memiliki ruang berkembang yang masih besar. Jika potret perbandingan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam mengembangkan produk turunan CPO dibanding Malaysia, dengan perbandingan belasan berbanding 120-an, maka kita bisa membayangkan bagaimana infrastruktur semacam Trans Sumatera dapat memfasilitasi perkembangan hilirisasi industri sawit tersebut.

Dan perkembangan industri ini, yang pasti meningkatkan pendapatan masyarakat, tentu selanjutnya meningkatkan juga kebutuhan bermobilisasi, berbelanja, dan berwisata yang tentu berimplikasi pada keekonomian jalan tol, peningkatan perkembangan sektor perdagangan, demikian pula perkembangan sektor pariwisata. Maka terjadi proses saling memperkembangkan antarsektor–sektor industri yang menciptakan kondisi bagi perkembangan sektor perkebunan, sektor transportasi dan perdagangan, sektor konstruksi, sektor pariwisata, juga dari arah sebaliknya dari sektor mana saja—yang dapat melipatgandakan dan mempercepat perkembangan ekonomi suatu wilayah. Dan pertumbuhan penduduk, memberikan bobot tambahan pada perkembangan ekonomi wilayah ini.

Proyeksi perkembangan-perkembangan tersebut, yang pasti juga terjadi di wilayah lain yang mendapat intervensi pembangunan infrastruktur skala besar di bawah Proyek Strategis Nasional, pasti berdampak langsung pada pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

Tapi jika dampak langsung perkembangan tersebut belum memadai, karena tidak bisa melibatkan secara langsung semua yang berkebutuhan untuk bekerja dan berpenghasilan, perkembangan tersebut pasti memberikan kontribusi pada peningkatan kapasitas ekonomi Negara melalui pajak, yang akan selanjutnya meningkatkan kapasitas kita dalam mengentaskan kemiskinan dengan program-program sosial yang lebih berdaya. Angka kemiskinan pasti berkurang secara cukup signifikan di jangka panjang, dan sisanya (yang pasti masih ada karena angka kemiskinan kita hari ini masih cukup tinggi) dapat kita topang dengan angka-angka subsidi (baik pangan, pendidikan, dan kesehatan) yang jauh lebih baik.

Saya kembali pada keyakinan, bahwa apa yang dibuat Jokowi adalah sesuatu yang berkualifikasi fantastis. Skala, kecepatan, dan ketegasan visionernya melampaui batas bayangan saya dan banyak orang lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News