Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis

Jatimnomics, Pendekatan Kesejahteraan Tahan Krisis
Mantan Wartawan, Magister Ilmu Ekonomi IPB, Jan Prince Permata, SP, M.Si. Foto: Dokpri for JPNN.com

Krisis yang terjadi di satu negara dan mempengaruhi negara lain ataupun yang dikenal sebagai transmisi krisis akan terjadi secara berulang sebagai konsekuensi logis dari sistem tata ekonomi dunia yang makin terbuka satu dengan yang lain. Proses transmisi ini menjadi lebih cepat lagi sejalan dengan perkembangan informasi dan teknologi komunikasi (Achsani and Strohe, 2004).

Tantangan Ekonomi Indonesia

Bank Dunia pada Juni 2018 memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai 5,2 persen. Sebelumnya pada April 2018, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen. Walau mengoreksinya, Bank Dunia menilai tren ekonomi Indonesia tetap positif. Hal ini antara lain disebabkan faktor permintaan domestik yang menguat, dan tren naiknya harga komoditas global.

Namun dibalik itu semua, Indonesia mengahadapi lima masalah mendasar di sektor perekonomian. Pertama, kemiskinan. Data BPS per Maret 2018 mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 9,82 persen atau 25,95 juta orang, yang jika dirinci di perdesaan sekitar 15,81 juta orang dan di perkotaan 10, 14 juta orang.

Kedua, pengangguran. BPS pada Februari 2018 menyebutkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,13 persen atau 6,87 juta orang dengan rincian pengangguran di perkotaan sebesar 6,34 persen, sedangkan sedangkan pengangguran di perdesaan 3,72 persen. 

Ketiga, ketimpangan. Ketimpangan di Indonesia saat ini bisa dilihat antara lain dari tingginya gini-ratio pendapatan yaitu 0,389 per Maret 2018. Jika lebih diperinci gini ratio diperkotaan mencapai 0,401 dan gini ratio di perdesaan 0,324. Berdasarkan data BPS, ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Ketimpangan di Indonesia juga bisa kita lihat melalui kesenjangan antara desa dan kota, kawasan maju dan tertinggal, pusat (central) dan pinggiran (pheripheri). Ketimpangan juga bisa dilihat dari kesenjangan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan jasa keuangan yang masih tinggi.

Keempat, utang. Hingga akhir Juni 2018 utang pemerintah pusat mencapai Rp 4.227,78 triliun. Utang yang disertai bunga dan pada waktunya akan jatuh tempo ini tentunya akan membebani perekonomian nasional.

Kelima, ketergantungan yang tinggi terhadap luar negeri. Semakin eratnya kerterkaitan pasar keuangan Indonesia dengan pasar keuangan internasional seiring dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas sejak 14 Agustus 1997 menyebabkan perekonomian Indonesia rentan terhadap gangguan eksternal, termasuk arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor.

Indonesia ke depan akan terus menghadapi berbagai permasalahan domestik dan tantangan global yang makin kompleks. Untuk itu perlu sebuah kontruksi ekonomi baru.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News