Jeritan Hati Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)

Merasa Diintai Agen CIA, Tiga Bulan Sembunyi di Rumah

Jeritan Hati Anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI)
Anggota KPSI di Bengkel Teater Rendra, Mei lalu. Para keluarga dan penderita skizofrenia bisa saling bertukar informasi dan berdiskusi sebulan sekali. Foto : Agus Wirawan/JAWA POS

Bisikan itu bermacam-macam, kadang menyakitkan dan tak jarang pula mengejek. Hal tersebut sering membuat emosi bergejolak tak menentu. Kadang penderita marah, kadang tertawa sendiri. "Malah pernah saya dibuat seolah merasa sebagai utusan Tuhan yang bisa menyembuhkan orang lain," ungkap dia.

Respons dari halusinasi itu berbeda-beda, bergantung si penderita. Jika bertipe pemarah, si penderita akan meluapkan emosi dengan membabi buta karena merasa terancam dengan situasi tertentu. Sementara itu, penderita yang bertipe penyabar hanya bisa ketakutan atau menjauhkan diri dari orang lain. "Saya biasanya mengunci diri di kamar sambil mendengarkan lagu yang relaxing. Itu cukup meredakan," tegasnya.

   

Bagus Utomo, pendiri KPSI, menyarankan, anggota keluarga yang menunjukkan gejala-gejala skizofrenia harus segera diperiksakan ke dokter. Sebab, banyak pihak yang masih menganggap penyakit itu nonmedis sehingga upaya penyembuhannya melalui paranormal dan lainnya. "Waktu yang terbuang untuk bergulat dengan kondisi akut membuat jeda panjang. Penyembuhannya harus menggunakan obat-obatan," tegasnya.

   

Pria berusia 37 tahun itu menuturkan berpengalaman menangani kakaknya yang menderita skizofrenia selama 15 tahun. Pekerjaan guru STM yang dulu dijalani kakaknya hampir tak mungkin ditekuni lagi.

Memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia, keluarga dituntut memiliki kesabaran ekstra. Melalui para penderita yang tergabung dalam KPSI,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News