Kern…

Kern…
Kern…

Dengan keberanian, dan tentu saja kecerdasannya dalam menggunakan hasil penyelidikan sarjana-sarjana lainnya, Coedes menulis artikel berjudul Le royaume de Crivijaya. Naskah berbahasa Perancis yang artinya Kerajaan Sriwijaya.

Pada 1918, setahun setelah Kern berpulang, naskah Coedes dimuat halaman 1 hingga 36 dalam Bulletin de I’Ecole Francaise d’Extreeme Orient, tome XVIII, nomor 6.  

Dengan menyandingkan isi Prasasti Kota Kapur dengan prasasti-prasasti lainnya, Coedes berhasil meyakinkan “dunia” bahwa Sriwijaya nama sebuah kerajaan maritim berpengaruh. Bukan sekadar nama raja, sebagaimana disebut Kern.

JPNN.com pun coba memeriksa sejumlah kajian awal tentang sejarah Kerajaan Sriwijaya. Empat tahun setelah Coedes, pada 1922 terbit buku setebal 188 halaman berjudul  L’Empire Sumatranais de Criwijaya. Penulisnya Ferrand.

Inti kajiannya memperkuat “temuan” Coedes. Bahwa pernah ada kerajaan bernama Sriwijaya. Dia melengkapi apa yang pernah ditulis Coedes dengan sederet literasi sezaman.

Kajian tentang Kerajaan Sriwijaya terus lahir hingga kini. Dari seluruhnya, bisa dipastikan tak mungkin tidak memakai sumber Coedes, dan tentu saja kajian Kern, tentang Prasasti Kota Kapur.

Sebab, Prasasti Kota Kapur—satu di antara catatan tua berbahasa Melayu Kuno-- boleh dibilang yang pertama-tama ditemukan terkait pengungkapan Kerajaan Sriwijaya. Jauh lebih dulu ketimbang Prasasti Kedukan Bukit, yang digadang-gadang sebagai naskah proklamasi Sriwijaya.

Oiya, Prasasti Kota Kapur cukup lama lho menghuni Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda. Hmmm…

Johan Hendrik Caspar Kern. Ilmuwan kelahiran Jawa ini “orang pertama” yang meneliti sejarah Sriwijaya. Para sarjana Barat menjulukinya mahaguru.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News