Manipol 88: Peta Jalan Menuju Puncak Kejayaan Bangsa

NUGROHO PRASETYO - Panglima Front Pembela Rakyat (FPR)

Manipol 88: Peta Jalan Menuju Puncak Kejayaan Bangsa
Nugroho Prasetyo, Panglima Front Pembela Rakyat (FPR)

jpnn.com - Ikhtiar Reformasi yang kita mulai sejak 1998 bertengger di ranting rapuh. Kombinasi 3 faktor ----perpetuasi tindak korupsi masif rezim kekuasaan, runtuhnya tatanan hukum karena praktek impunitas negara di bawah para bablasan Orde Baru dan retardasi wawasan politik rakyat lantaran pembodohan sistemik selama 32 tahun---- menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang krisis multidimensi, mengarahkan kehidupan bernegara melenceng dari Pancasila dan mendorong nasib bangsa makin menjauh dari cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945. Selama kurun waktu 18 tahun terakhir, Indonesia berada dalam lingkaran potret kelam : komprador kian berkuasa, kekayaan alam dikeduk habis diangkut ke luar negeri, hajat hidup rakyat dicekik atas nama mekanisme pasar bebas, 52% kaum papa makin melarat dan penegakan supremasi hukum sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat. Situasi negeri ini makin jumud karena sistem politik dan ekonomi dikarantina oleh kepentingan oligarki. Mereka berkomplot secara terang-terangan untuk menyandera kekuasaan.

Tidak kurang dari 50 tahun, bangsa ini diberi teladan melalui pertunjukan kolosal berjudul "amoralitas" (korupsi, pelecehan hukum, pembunuhan rasa malu). Di sana, nilai-nilai keadaban absen. Saat demokrasi dan korupsi bersenyawa sejak otonomi daerah bergulir tahun 1999, badai krisis yang menimpa negeri ini adalah dekadensi moral para pemimpin bangsa, setiap penyelenggara negara dan kalangan elit politik, bahkan hampir seluruh pejabat pemerintah di semua lapisan. Penyakit paling kronis yang menggerogoti jantung negeri ini adalah korupsi. Korupsi merupakan extraordinary crime. Mencuri uang negara sama halnya mencuri masa depan satu generasi. Sama halnya pula mencuri semua kemungkinan bangsa ini untuk hidup dalam keadilan sosial. Dengan mengakumulasi aset-aset negara dalam kuasa privat, para koruptor telah menghidupkan kesadaran kritis kita semua, bahwa sejatinya harta berlimpah yang mereka miliki adalah simbol bagaimana perampokan dapat dilakukan dengan normal sekaligus dilindungi aturan. Perilaku korup para penyelenggara negara dan elit kekuasaan secara mati-matian ditutupi dengan memanipulasi simbol-simbol semiotik yang mengelabuhi pandangan mata publik. Padahal, kekuasaan ditegakkan tidak untuk bersalin rupa menjadi alat melegitimasi tindak korupsi aparatur negara. Sebaliknya, justeru semua modus kekuasaan harus diarahkan untuk mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Meskipun kapitalisme terbukti menciptakan kemiskinan dan ketimpangan, kita tetap mengarahkan kapal negara menuju pelabuhan neoliberalisme. Padahal, neoliberalisme menempatkan peran kapital mengungguli harkat manusia, mereduksi kedudukan rakyat menjadi marginal-residual. Manusia bebas tampil dalam bentuk rakus-matrealistiknya sebagai homo-economicus, mengabaikan manusia dari sosok utuhnya sebagai homo-socius, homo-humanus dan homo-religious. Akibatnya, pemerintah kerap lalai akan tugas dan kewajibannya, yaitu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth). Bertolak-belakang dengan kenyataan, pembangunan sering dilakukan dengan menggusur kaum miskin, bukan menggusur kemiskinan.

Pasca Orde Baru jatuh, tidak ada kondisi "ruptura pactada" seperti di Amerika Latin, di mana elemen-elemen lama hanyut ditelan sejarah. Sebaliknya, negeri ini dibajak oleh bablasan Orde Baru yang berganti wajah menjadi oligarki-elektoral. Demokrasi liberal yang kita tempuh menemui jalan terjal. Liberalisasi politik berada di titik jenuh. Elektoralisme dan proseduralisme dibajak oligarki. Ranah politik negeri ini diinjak-injak kepentingan jahat pluptokrasi dan plutonomi. Hampir seluruh sumber kekuasaan ekonomi dan politik dijadikan bancakan kaum pluptokrat. Dengan konstruksi minus ideologi, para pelaku politik tak ubahnya gerombolan yang menjalankan organized-crimes.

Selain gagap mengidentifikasi siapa sejatinya musuh bersama bangsa, persoalan-persoalan atributif di sektor hilir yang residual dan derivat dari masalah fundamental di sektor hulu ----krisis kedaulatan---- telah menjebak bangsa ini. Men-subordinat-kan masa depan Indonesia hanya kepada penyelesaian persoalan-persoalan atributif di sektor hilir bukanlah produk pikiran yang matang. Hanya dengan mampu melepaskan diri dari sekat sentimental itu, kita bisa menyusun horison jangka panjang. Yang tak boleh diabaikan, betapa pentingnya berpikir dan bertindak strategis, tak sekedar pragmatis. Model tata-kelola Sumber Daya Alam (SDA) yang ekstratif, distortif dan berdimensi jangka pendek yang selama ini kita jalankan akan memerangkap masa depan bangsa dalam "Dutch Disease". Korporasi-korporasi global diberi ruang gerak untuk bebas menjarah kekayaan alam milik bangsa. Kita benar-benar tidak berdaulat atas hak milik kita sendiri. Kalau pola seperti itu masih dipelihara terus, pertaruhannya adalah kedaulatan ekonomi. Negara kian kehilangan otoritas dalam mengatur dan mengontrol sektor-sektor strategis yang menentukan hajat hidup bangsa karena minimnya faktor kepemilikan, bahkan negara kerap menjadi alat kepentingan pluptokrat dan oligarki, sementara sektor-sektor strategis tersebut harus dimiliki (owned), diurus (managed) dan dikerjakan (operated) oleh negara, sebab negara akan berdaulat jika menempatkan diri sebagai planner (perencana), regulator (pengatur) dan player (pemain).

Manipol 88: Peta Jalan Menuju Puncak Kejayaan Bangsa

Simultanitas dan kresendo dari semua laku-nista terurai di atas de facto merupakan keadaan darurat. Perjalanan negeri ini ke depan menghadapi rute ruwet, berliku, penuh tikungan dan jebakan, bahkan cenderung tersesat menuju jalan buntu. Ketidakmampuan mengorganisir aparatur negara secara efektif sehingga mengarah pada political disorder dan ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, merajalelanya tindak pidana korupsi, hukum tidak bisa dijalankan berkeadilan, ketertiban umum tidak terpelihara secara optimal, kohesi sosial menguat, jaminan sosial kaum miskin rapuh dan legitimasi pemerintah memudar, makin menggejala di negeri ini. Nyaris tak ada jalan keluar yang mudah untuk menyelesaikan krisis kebangsaan dan kenegaraan. Tantangan masa depan yang dihadapi bangsa Indonesia makin kompleks dan kian berat, namun demikian bangsa ini tak boleh terbelenggu oleh pesimisme akut. Jika semua elemen bangsa tidak mampu menjaga optimisme dengan mata terbuka, maka daya hidup bangsa ini akan dilumpuhkan oleh 4D, yakni : defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa ditinggalkan) dan deprived (rasa tercerabut). Faktor 4D itulah yang membuat bangsa Indonesia selama 50 tahun terakhir menjadi pewaris yang kerdil atas peninggalan-peninggalan besar para pendiri bangsa. Faktor 4D itu pula yang merantai nyali bangsa ini tetap terikat di "titik nol kilometer sejarah", tak punya keberanian menulis sejarah besar sebagai bangsa yang besar. Untuk melewati tantangan masa depan, bangsa Indonesia butuh menghikmati rasa hayat sejarah (historisch-leven gevoels), menemukan kembali jati diri, menentukan siapa sejatinya musuh bersama (common enemy), menempuh Ruptura Pactada, memiliki nilai bersama (collective behaviour), menentukan titik berangkat bersama (common value) dan menentukan terminus ad quem (titik tuju) sejarah, serta merumuskan rencana dan agenda strategis nasional.

Sebagai catatan pinggir, pada 1992, kekayaan 1% kelas super kaya di Amerika Serikat sudah 1.100 kali lipat dibandingan kekayaan 90% warga biasa. Pada 2012, kekayaan kelas super kaya itu melonjak menjadi 4.500 kali lipat dibandingkan kekayaan 90% warga biasa. Pada 2040, menurut prediksi Bob Lord, gambaran kesenjangan itu akan menjadi 9.000 kali lipatnya. Hanya revolusi yang bisa merombak kesenjangan seperti itu, katanya. Jeffrey Winters mempunyai gambaran dan perhitungan yang lebih dramatis mengenai konsentrasi kekayaan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia. Pada 2010, jumlah individu yang menduduki lapisan tipis 0,002% penduduk terkaya Indonesia dan berpenghasilan Rp 13 miliar per tahun ada sekitar 43.000 orang. Bila dari jumlah itu kita tarik 40 orang super kaya yang menjadi lapisan oligarki maha kaya dengan jumlah total kekayaan setara dengan 10% GDP, maka kekayaan mereka mencapai 630.000 kali lipat dibandingkan dengan kekayaan rata-rata orang Indonesia. Fakta tersebut mengirim pesan lain, bahwa ketimpangan redistribusi ekonomi akibat penerapan kebijakan neoliberal oleh pemerintah makin menganga. Menurut Joseph E Stiglitz dalam "The Price of Inequality : How Today’s Divided Society Endangers Our Future", itu semua hasil dari interseksi antara kekuatan pasar dan mekanisme politik yang memberikan keuntungan berlimpah kepada minoritas elit dan menimpakan seluruh beban sosial kepada mayoritas rakyat. Jika ketimpangan kekayaan yang tak terdistribusi secara merata di Amerika Serikat secara teoritis membutuhkan 1 kali revolusi, maka Indonesia perlu 70 kali revolusi. Sebagaimana jauh hari saya yakini, jalan tunggal untuk melawan komplektitas akut warisan Orde Baru dan Orde Reformasi yang menyandera negeri ini adalah perubahan fundamental yang dilakukan secara progresif, determinan, revolusioner dan dalam skala masif, bukankah Rekonstruksi Total merupakan bentuk lain dari 70 kali revolusi seperti usulan Bob Lord di atas ?

Menurut Nugroho Prasetyo, situasi negeri ini makin jumud karena sistem politik dan ekonomi dikarantina oleh kepentingan oligarki.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News