Menjajal Jalan Terjal Perhutanan Sosial

Menjajal Jalan Terjal Perhutanan Sosial
Presiden Jokowi, Menteri LHK Siti Nurbaya (mengepalkan tangan) dan pejabat negara lainnya di Taman Hutan Raya Bandung, 11 November 2018. Foto: Dok. KLHK nutuk JPNN.

Zaman HPH

“Pengelolaan hutan di Indonesia telah mengalami evolusi,” begitu kata pembuka dalam buku Mengenal Perhutanan Sosial yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada zaman Orde Baru, tulis buku itu, pengelolaan hutan menitikberatkan kayu (timber management). Maka, izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) skala besar sangat marak dan cenderung menafikan keberadaan masyarakat miskin sekitar hutan.

Pada masa itu, “masyarakat sekitar hutan tidak ikut menikmati hasil hutan. Masyarakat hanya menjadi penonton. Kondisi tersebut menimbulkan gejolak dan konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pemegang HPH,” tulis Budi Budiman dan Yumi, penyusun buku tersebut.

Diuraikannya lagi, pada 1978 dalam Kongres Kehutanan ke 8 di Jakarta, para pimpinan Negara sedunia memang menyepakati paradigma Forest for People. Hutan untuk Rakyat. Nyatanya, slogan tersebut diterjemahkan dengan keliru. Hutan kian dijarah.

Pada era reformasi, masyarakat yang selama tiga puluhan tahun merasa diabaikan mulai menampakkan eksistensinya sebagai “pemilik hutan yang sebenarnya”.

Mereka mulai berani melakukan perlawanan dengan merambah hutan secara serempangan.

Kondisi tersebut menyadarkan pemerintah. Bahwa hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Tetapi satu kesatuan ekosistem dengan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitarnya. Maka terbitlah Undang-Undang Kehutanan pada 1999.

Zaman HPH telah berlalu. Perhutanan Sosial untuk pemerataan ekonomi rakyat. Sejarah baru wajah pengelolalan hutan di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News