Merayakan Kehilangan Atas Tanah

Oleh: Abdul Kodir

Merayakan Kehilangan Atas Tanah
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi dan Tim Peneliti di Pusat Studi Bencana, Mitigasi, dan Lingkungan – Universitas Negeri Malang, Abdul Kodir. Foto: Dokpri

Kemudian menjadi viral ketika dalam 1 KK ada yang membeli 3-4 unit dengan kisaran harga mobil di atas 500 juta rupiah.

Kedua, fenomena ini juga terjadi di Desa Kawungsari, Kuningan, Jawa Barat. Warga desa menjual tanah mereka sebagai kompensasi penjualan lahan yang diperuntukkan pembangunan Mega Proyek Waduk Kuningan yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Meskipun nilai pembelian tidak sebesar yang diperoleh warga desa di Tuban. Namun perilaku konsumsi mereka tidak jauh berbeda.

Setidaknya saat ini, warga desa tersebut membeli sepeda motor sebanyak 300 unit dan mobil 30 unit.

Tanggapan publik terhadap pemberitaan ini mungkin akan beragam. Pada umumnya publik akan menilai bahwa fenomena ini menjadi hal wajar dikarenakan memang kecenderungan masyarakat Indonesia yang konsumtif dikarenakan literasi keuangan masyarakat kita baru mencapai 38% (OJK, 2019).

Selain itu, anggapan publik juga menilai bahwa hal ini bukan masalah dan juga tidak dilarang.

Namun dalam hal ini, kita tidak sedang mendudukkan fenomena tersebut dalam konteks kewajaran ataupun sesuatu hal yang dilarang atau tidak. Melainkan secara jernih kita harus melihat secara kritis bahwa fenomena ini perlu ditinjau dalam bingkai struktural yang lebih kompleks.

Mengapa penghilangan tanah masyarakat secara luas menjadi hal yang sangat wajar? Dan yang menjadi ironis, mengapa sebagian dari mereka merayakannya?

Tanah adalah properti materiel yang dapat dijadikan komoditas karena nilai investasi yang dimiliki. Namun, tanah juga memiliki nilai sosial dan budaya yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News